Hujan deras membasahi jalanan Jakarta malam itu. Kota yang biasanya riuh rendah kini sepi, hanya suara rintik hujan yang terdengar bersahutan dengan gemuruh petir sesekali. Di sebuah sudut kota, tepatnya di Jalan Suropati nomor 15, berdiri kokoh sebuah bangunan tua bergaya kolonial. Papan nama yang terpasang di gerbang depan bertuliskan "Panti Asuhan Bunda Mulia" dengan cat yang mulai mengelupas dimakan usia.
Suster Metha, wanita paruh baya dengan wajah lembut namun tegas, berjalan tergesa menuju gerbang depan. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 21:00 malam. Sudah waktunya mengunci gerbang panti, rutinitas yang selalu ia lakukan setiap malam sebelum beristirahat.
Namun malam itu berbeda. Ketika tangannya hendak meraih gembok gerbang, telinganya menangkap suara tangisan samar-samar. Awalnya Suster Metha mengira itu hanya ilusinya saja, mungkin efek dari suara hujan yang tak kunjung reda. Tapi suara itu semakin jelas terdengar.
Dengan hati-hati, Suster Metha melangkah keluar gerbang, matanya menyapu area sekitar. Dan di sanalah ia menemukannya -sebuah kardus yang dibungkus plastik hitam, tergeletak begitu saja di depan gerbang panti. Tangisan itu berasal dari dalam kardus tersebut.
Dengan tangan gemetar, Suster Metha membuka plastik hitam yang membungkus kardus itu. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati seorang bayi mungil terbaring di dalamnya, menangis kedinginan dan kelaparan. Tanpa pikir panjang, Suster Metha menggendong bayi itu dan berlari masuk ke dalam panti, mengabaikan hujan yang membasahi tubuhnya.
"Ibu Lauren! Ibu Lauren!" teriak Suster Metha sambil menggedor pintu kantor kepala panti.
Ibu Lauren, wanita berusia 60 tahun dengan rambut beruban yang selalu disanggul rapi, membuka pintu dengan wajah kebingungan. "Ada apa, Suster Metha? Kenapa kau basah kuyup begini?"
Suster Metha, dengan nafas terengah-engah, menjelaskan situasinya sambil menunjukkan bayi yang kini ada dalam gendongannya. Ibu Lauren terdiam sejenak, matanya menatap nanar pada bayi mungil yang masih menangis itu.
"Astaga, kasihan sekali. Mari kita urus dia dulu," ujar Ibu Lauren akhirnya, membawa Suster Metha dan si bayi ke ruang perawatan panti.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi penghuni Panti Asuhan Bunda Mulia. Para suster bergantian merawat si bayi yang akhirnya diberi nama Tam-singkatan dari "Terlantar dan Malang"-oleh Ibu Lauren. Tidak ada identitas atau petunjuk apapun yang ditinggalkan bersama Tam. Hanya selembar kertas lusuh bertuliskan "Rawatlah dia dengan kasih sayang" yang ditemukan di dalam kardus.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Tam tumbuh menjadi anak laki-laki yang cerdas dan penuh semangat. Di usianya yang baru menginjak lima tahun, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar dan bermain musik. Setiap hari, lorong-lorong Panti Asuhan Bunda Mulia dipenuhi tawa riang Tam yang berlarian, atau alunan merdu permainan pianika tuanya.