Lihat ke Halaman Asli

Pedestrian

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut teman kuliahku dulu yang bernama Pitra, pedestrian artinya pejalan kaki kota. Setelah kulihat akhir-akhir ini, menurut kamus bahasa, pedestrian adalah berupa kata benda yang artinya pejalan kaki. Aku lebih setuju dengan definisi ini bahwa pedestrian hanya berarti pejalan kaki saja tanpa perlu menambahkan dengan embel-embel keterangan tempat. Dikota, didesa, dikampung-kampung, digunung, dipesisir pantai, dipedalaman, dilembah-lembah, dihutan belantara, dimanapun dia tetaplah seorang pedestrian tanpa perlu lagi mengkotak-kotakan tempatnya.
Karena pedestrian sejati tidak akan memilih-memilih tempat dimana bumi sebagai pijakannya. Dimana pun ada jalan walau hanya jalan setapak akan dia lewati. Pun kalau terpaksa, ia akan membuat atau membuka jalan baru demi tujuannya, seperti yang dilakukan para pendaki gunung atau penjelajah hutan belantara. Karena bagiku seorang pedestrian adalah “Seorang Pembuka Harapan”. Seperti pepatah bijak dari negeri Cina tentang “Harapan”:
Harapan itu seperti jalan setapak yang ada dipedesaan,
dahulu jalan itu belum ada.
Tetapi ketika orang sering melewatinya jalan pun muncul...

***
Aku jadi ingat tentang masa kecilku, waktu usiaku remaja saat duduk dibangku SMP. Dilingkungan rumahku, disebuah jalan umum. tempat biasa bermain bersama teman-teman kecil. Ada seorang asing yang sering kami lihat melewati jalan itu. laki-laki, berperawakan gemuk, dengan perut sedikit tambun, tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang dewasa, berambut gondrong dengan panjang sepinggang. Mengenakan kaos, bercelana pendek, bersandal jepit dan berkulit sawo matang.
Kami tidak pernah tahu ataupun bertanya pada orang asing itu siapa namanya, berapa umurnya, asal usulnya, dan dengan tujuan apa. Kami yang kecil saat itu tidak berani. Kami hanya memperhatikan saja. Toh dia juga tidak mengganggu. Dia hanya menumpang lewat saja. Istimewanya, dia selalu menjadi perhatianku sejak kami sering melihatnya melewati jalan dilingkungan rumah dengan berjalan kaki tanpa bekal apapun dalam jalan dan waktu yang berbeda. Tidak pernah aku melihatnya menggunakan kendaraan sekalipun. bahkan meski hanya menumpang berbonceng sepeda ataupun motor kepada temannya. Tidak pernah sekalipun kulihat. Yang kulihat dia hanya berjalan kaki. Sendirian. Berjalan konstan tanpa tergesa-gesa apalagi tampak berlari.

Sejak itu, laki-laki misterius itu kami juluki sebagai orang gila atau orang yang tidak waras. Teman kecilku menghakimi begitu saja laki-laki misterius itu sebagai orang gila. Aku tanya,”kenapa?”. “Tidak tahu, habis dia seperti orang aneh”, jawabnya enteng. Kalau dipikir saat ini, tega-teganya teman kecilku dulu menghakimi laki-laki misterius itu sebagai “orang gila”. Padahal tidak pernah sekalipun dia berkomunikasi pada laki-laki misterius itu hingga dia bisa menilai apa layak laki-laki misterius itu disebut “gila”.

Maklum kami masih kecil saat itu, tidak berani macam-macam pada orang dewasa yang asing apalagi perilakunya dianggap aneh. Aku sendiri tidak begitu merisaukan soal keberadaannya. Toh juga dijalan umum itu pernah kulihat beberapa perilaku aneh orang-orang gila. Contohnya, ada laki-laki yang tingkahnya seperti pengendara mobil. Dia berlari kesana kemari bahkan berzig-zag ditengah jalan. Hebatnya dia membawa setir mobil sungguhan. Didapat darimana aku tidak tahu. Dengan setir mobilnya dia pancangkan dihadapan wajahnya. Wajahnya serius. Sambil meniru suara mobil yang menderu dia berlari kesana kemari bak seorang pembalap. Ini jadi pemandangan yang lucu bagi orang-orang disekitarnya. Sampai diperempatan jalan raya dimana banyak kendaraan berlalu lalang dia diam berdiri. Tiba-tiba perilakunya berubah lagi. Kali ini dia berlagak seperti polantas. Mengatur lalu lintas di jalan itu. orang-orang hanya tersenyum-senyum saja melihat tingkahnya. Kami menjulukinya dia “gila mobil”.
Lalu ada lagi yang “gila Inggris”. Laki-laki juga. Orang gila yang satu ini duduk sambil mengoceh kepada siapa saja yang lewat dengan bahasa Inggris. Aku jadi tergelak lucu dibuatnya. Karena ketika aku lewat diatas sepedaku. Ia mengoceh dengan bahasa Inggris yang tidak karuan bahkan terdengar tidak jelas. Meskipun kemampuan bahasa Inggrisku masih pas-pasan aku jadi merasa lucu dibuatnya. Sebab dia memang mengoceh sendirian.
Ada lagi orang gila lainnya yang tidak kalah gilanya. Kali ini perempuan. Pagi itu Dia memasuki kawasan perkampungan kami. Bertelanjang bulat. Orang-orang pun heboh. Lalu salah satu warga mengusulkan untuk memberinya pakaian. Akhirnya kami coba usul itu. ketika pakaian bekas itu diberikan untuk menutupi tubuhnya. Dia hanya melempar-lemparkannya saja ke langit. Lalu dia masuk ke kali kecil yang airnya hanya sebetis orang dewasa. Sambil berjongkok dia buang hajat dikali itu. tak lama akhirnya dia pergi.

Suatu hari kemudian. Dipagi hari ketika tirai teras rumahku dibuka. Ternyata orang gila itu tidur dibalai bambu rumahku. Kami kaget dan ketakutan.Aku coba untuk mengusirnya, “Hush..husss..pergi..pergi!!”. tapi dia tidak hiraukan. Yang aku takutkan dia buang hajat dibalai itu. tidak lama kemudian setelah diperiksa, benar saja. Apa yang kupikirkan terjadi. Dia telah buang hajat dibalai itu. Mungkin dia sudah menandai daerah kekuasaannya. Tapi hal itu menjijikan buat kami. Kontan saja, abangku menyuruhku untuk mengambil seember air. Bergegas aku kebelakang mengambil air. Setelah air seember diberikan ke abangku. Tanpa aba-aba lagi. Langsung air itu dibanjurkan ke orang gila yang tidur itu. dan dia pun langsung lari terbirit-birit. Kemudian yang membuatku malas, aku disuruh abangku membersihkan hajat orang gila itu. huh sial, dasar orang “gila buang hajat!”.

Dan mungkin, laki-laki misterius yang dinilai sebagai orang gila oleh temanku itu aku juluki sebagai orang “gila jalan” atau hanyalah seorang Pedestrian. Tapi saat itu aku mulai tidak melihatnya lagi.

***

Selang beberapa tahun kemudian. Aku telah duduk di bangku SMA. Sebagai seorang anak yang gemar bermain sepak bola. Aku bersama teman sekelasku bermain sepak bola dimanapun kami suka. Di halaman sekolah. Tanah lapang kosong perumahan kompleks Pondok Indah atau dimanapun. Beruntung kami memiliki tim sepak bola yang solid. Tim kami terus menang melawan kelas-kelas lain. Saat itu kami kelas satu. Hingga pada suatu hari ada tantangan bertanding dari kelas dua. Kami menyanggupinya. Dilapangan bola bintaro jaya Jakarta selatan kami bertemu. Hasilnya kami kalah. Kami akui Mereka memang lebih jago.

Pada saat pulang kerumah aku menumpang mobil kijang temanku. Aku duduk di kursi paling belakang yang menghadap ke samping. Ditengah perjalanan masih didaerah bintaro. Tiba-tiba, aku melihatnya lagi. Ya, si orang “gila jalan” atau si “pedestrian” itu lagi. Dia berjalan disisi dengan tenangnya. Masih dengan sosok yang sama seperti dulu ketika pertama kulihat. Aku dimobil dan dia berjalan kaki. Hendak menuju kemana aku tidak tahu. Sungguh aneh, kami bertemu lagi disitu meski tidak saling menyapa. Padahal daerah itu sangat jauh dari rumahku. Aku salut, memang dia seorang pedestrian sejati.

***

Dalam lipatan waktu aku telah beranjak dewasa. Tugasku kali ini adalah menempuh kuliah di sebuah universitas negeri di Jatinangor. Sebagai seorang anak perantau yang sederhana. Uang menjadi berhala yang harus dijaga. Disayang-sayang meski tidak dibelai. Segala tindakan yang berhubungan dengan uang harus diperhitungan benar masak-masak. Maklum, kiriman uang dari ibuku sangat pas-pasan. Apalagi saat itu tahun 1998. krisis mendera negeri. Orang dibuat melotot dengan kenaikan harga-harga. Aku berada pada jaman yang sulit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline