Minggu, 3 September 2017, sekitar pukul 10.04 WIB, aku sempat membaca status Facebook adik-adikku di kampung. Salah satunya adalah status atau postingan Megawati. Memang agak berbeda status yang ia tulis saat itu. Lain dari sebelumnya. Begitu panjang.
Tentu, Anda pasti bisa menebaknya. Ya, ia mencoba menulis dan memposting sebuah artikel yang begitu inspiratif, adem, dan penuh hikmah. Itu adalah kisah hidupnya. Proses perjuangan awal mula ketika ia ingin menempuh studi di kota Makassar.
Berbagai hambatan dan tantangan yang ia lalui sebelum berangkat studi ke kota Daeng tersebut. Mulai dari meminta restu secara mendadak kepada kedua orangtuanya yang begitu rumit dan seolah mustahil dikabulkan oleh mereka. Dan, memang betul demikian, sangat rumit. Itulah yang tertulis di artikelnya itu.
Ia memulai minta restu kepada sang ibu tercintanya. Seolah tak percaya, ibunya tak mengizinkan hal itu. Jangankan untuk studi di kota Makassar, studi di kampungnya sendiri saja tak boleh. Kira-kira seperti itulah respon dari ibundanya tercinta. Bukan tanpa alasan ibunya mengatakan demikian. Sebab, kondisi ekonomi yang tak memungkinkan. Ditambah lagi dengan kondisi ibunya yang lagi kurang sehat, sehingga takut suatu saat anaknya tak bisa melihatnya dari kejauhan.
Namun, ini bukan alasan utama. Alasan pokoknya adalah persoalan finasial. Ya, begitulah kenyataannya. Jangankan untuk membiayai sekolah atau kuliah anak-anaknya, kadang keperluan makan sehari-hari saja susah sekali didapat. Bahkan, ibunya tersebut sempat mengatakan sesuatu yang tak ia duga sebelumnya. Ya, ibunya sempat menyuruh ia untuk menghabiskan dulu nyawa ibunya itu supaya bisa berangkat ke Makassar. Kurang lebih seperti itulah yang ia (baca: Megawati) ceritakan ditulisannya itu.
Namun, tak pernah ia merasa putus asa. Ia terus meyakinkan kepada ibunya tersebut. Bahwa, yang terpenting diizinkan dulu untuk berangkat ke Makassar. Persoalan modalnya itu belakangan, begitu kira-kira tutur. Alhasil, Tuhan melihat kerja keras dan doanya itu. Ia pun mendapat restu dari ibunya untuk berangkat studi ke kota Anging Mamiri tersebut.
Satu masalah telah tuntas. Masih ada lagi satu. Ia harus mendapatkan restu dari ayahnya juga. Sama dengan proses meyakinkan kepada ibunya, ayahnya juga awalnya menolak dan tidak merestui anaknya untuk berangkat menimba ilmu di tanah rantauan tersebut. Alasannya tentu sama, yaitu salah satunya persoalan ekonomi atau biaya yang tak memungkinkan.
Usahanya membuahkan hasil, meskipun awalnya sempat dimarahi ayahnya. Tanpa sepengetahuan anaknya tersebut (baca: Megawati), sang ayah menjual tanah keluarganya yang dikelolanya dalam mencukupi kehidupan rumah tangga sehari-hari. Dan, sebagiannya sengaja memang disimpan untuk membiayai anaknya itu yang begitu ngotot untuk melanjutkan studi.
Cerita dan ulasan sederhana di atas, tentu mengajarkan kepada kita bahwa suatu keinginan yang baik pasti akan dikabulkan oleh Tuhan. Meskipun berbagai hambatan dan halangan yang datang menghadang silih berganti. Tekad yang kuat dan niat untuk mencari serpihan ilmu-Nya tentu akan mengalahkan segala macam hambatan. Perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan yang sungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil yang positif. Percayalah akan hal itu.
Aku yakin, kisah seperti tersebut di atas pernah kita temukan dan dengarkan di lingkungan sekitar kita, meskipun objeknya yang berbeda. Itulah dalam kehidupan ini, selalu saja ada orang yang begitu energik dan inspiratif dalam setiap kisah dan perjalanan hidupnya.
Seperti pada judul tulisan di atas, aku begitu terharu. Terharu, karena keinginan yang begitu kuat untuk menimba ilmu, seolah tak ada hambatan yang ia alami. Sehingga, mampu meyakinkan orang-orang di sekitarnya, bahwa mencari ilmu itu adalah suatu kewajiban, juga bukan hanya orang berada (kaya) saja yang mampu mendapatkan atau meraihnya.