Lihat ke Halaman Asli

Siapa Takut Dibilang Kerbau?

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari-hari belakangan ini binatang kerbau yang biasanya hanya berkubang lumpur di sawah tiba-tiba naik kasta, dibicarakan oleh presiden, dijadikan bahan perdebatan di televisi, jadi bahan tulisan di kompasiana. Semua berawal ketika pada demo 28 Januari lalu turut berdemo kerbau Si Bu Ya (plesetan dari Es Be Ye?) yang menyeruak di antara kerumunan pendemo. Kerbau Si Bu Ya langsung menyedot perhatian karena di bagian pantatnya ditempeli dengan foto SBY selain tulisan Si Bu Ya besar-besar di badannya.

Alkisah Presiden SBY tersinggung berat karena merasa disamakan dengan kerbau yang badannya gemuk. bodoh dan pemalas. Saya tak mau turut dalam gonjang ganjing soal kerbau itu, saya justru kasihan dengan binatang bertanduk itu. Bayangkan saja sudah populasinya tergusur oleh populasi traktor yang tak terkendali, sekarang dijadikan symbol kebodohan dan kemalasan. Siapa bilang kerbau bodoh dan malas? Secara turun temurun kerbau menjadi sahabat petani, menjadi pembajak sawah yang tak kenal lelah,pintar dan bertenaga besar dan tidak banyak ulah.

Dengan kepintarannya kerbau bisa mengerti aba-aba dari petani, kapan harus jalan, kapan harus belok, kapan harus berhenti. Kerbau juga bukanlah binatang pemalas, bahkan binatang pekerja keras dan tahan banting. Saya tidak tahu sejak kapan kerbau dijadikan symbol kebodohan dan kemalasan padahal di masa lalu kerbau adalah nama yang agung bahkan dipakai sebagai nama bangsawan. Kalau anda penggemar kesenian tradisional kethoprak pasti pernah mendengar nama Kebo Marcuet, Kebo Anabrang yang berasal dari kasta bangsawan.

Dalam khasanah kesenian jawa, dikenal pula nama gending Kebo Giro (kebo = kerbau), yang biasanya ditabuh untuk mengiringi ucapara perkawinan yang agung. Keraton Yogyakarta bahkan mempunyai kerbau keramat berkulit bule, sampai-sampai orang rela berebut kotorannya karena diyakini akan mendatangkan rejeki.

Bangsa kita sepertinya memang gemar mencari symbol-symbol dari sesuatu yang sebenarnya maknanya baik menjadi sesuatu yang buruk dan hina. Catat saja selain kerbau yang dijadikan symbol kebodohan dan kemalasan, makanan tempe juga dijadikan symbol kemiskinan dan keterbelakangandan segala hal yang buruk. Mental lemah dibilang mental tempe, bangsa yang miskin dibilang bangsa tempe, padahal tempe adalah produk makanan asli Indonesia yang punya nilai ekonomis yang tinggi dan menjadi sumber rejeki bagi banyak orang. Tempe juga telah dikomsumsi oleh semua lapisan masyarakat sampai-sampai semua orang kebingungan ketika harga kedelai sebagai bahan baku tempe tiba-tiba melonjak.

Kembali ke soal kerbau, tanpa disadari kesalahkaprahan dalam penggunaan symbol kerbau tersebut ternyata selaras dengan cara pandangmasyarakat petani terhadap kerbau. Petani tak banyak lagi yang memelihara kerbau dan memilih menggunakan jasa traktor untuk mengolah sawahnya padahal secara ekonomi sangat memakan biaya dibandingkan membajak sawah menggunakan kerbau. Lenguhan kerbau telah tergantikan oleh lenguhan traktor. Namun sekarang orang mulai sadar bahwa peran kerbau tak bisa digantikan oleh traktor. Injakan kerbau membuat tanah menjadi gembur, dan kotorannya membuat petani tak tergantung kepada pupuk buatan pabrik.

Kotoran kerbau bahkan bisa diolah menjadi biogas yang membuat petani tak harus tercekik untuk membeli gas yang kian hari harganya kian mencekik. Kerbau bahkan bisa menjangkau lahan yang tidak rata, lahan pegunungan yang tak terjangkau oleh traktor. Bayangkan jika petani kembali memelihara kerbau, berapa banyak mereka bisa berhemat dan ujung-ujungnya kesejahteraan akan meningkat.

Dalam konteks pembangunan yang ramah terhadap alam, keberadaan kerbau jelas sangat menentukan. Sekarang sudah mulai tumbuh kesadaran untuk meninggalkan cara pertanian yang merusak alam (pestisida, pupuk pabrik) lewat gerakan pertanian organik. Peran kerbau menjadi sangat menentukan karena darinyalah produk pupuk alami dihasilkan, sudah begitu tenaganya dibutuhkan untuk menggantikan traktor yang menghasilkan polusi dan menyedot solar(saya pernah melihat tayangan di Metro TV tentang pertanian sebagai penyumbang terbesar bagi pemanasan global). Selain itu produk dari pertanian organik juga dihargai jauh lebih mahal daripada hasil pertanian non organik yang tentu akan mengangkat derajat hidup petani. Pertanian yang berwawasan lingkungan harusnya menjadi keniscayaan di tengah issue pemanasan global, sayangnya gaungnya justru kalah kencang dari gonjang ganjing Kerbau Si Bu Ya. Bukti bahwa pemerintah tidak punya politik pertanian yang berwawasan alam dan tidak menggagas politik pertanian yang mendorong petani menjadi mandiri. Jangan-jangan karena pemerintah sudah terlanjur under estimate terhadap kerbau.

Saya yang wong ndeso kini sangat merindukan lenguhan kerbau yang tak kenal lelah membajak sawah, bukan merindukan keluhan orang yang tersinggung disamakan dengan kerbau. Kalau saya jadi orang tersebut saya akan bilang…Siapa takut dibilang kerbau?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline