Dualisme kompetensi peradilan yang berwenang mengadili perbuatan melawan hukum pemerintah atau sering disebut onrechtmatige overheidsdaad (OOD) telah menimbulkan kerugian di masyarakat.
Sewaktu digugat ke peradilan umum terbuka kemungkinan gugatan tidak diterima dengan alasan gugatan merupakan kompetensi peradilan administratif, sebaliknya apabila di gugat ke peradilan administratif, terbuka juga kemungkinan tidak diterima dengan alasan gugatan merupakan kompetensi peradilan umum.
Namun tidak sedikit juga gugatan diterima dengan alasan masih merupakan kompetensi peradilan masing-masing. Peradilan umum biasanya mengadili OOD adalah berdasarkan Pasal 1365 KUHPer sementara dasar peradilan administratif adalah berdasarkan undang-undang administrasi baik formil maupun materiil. Norma-norma tersebut telah memberikan cek kosong kepada hakim untuk mengadili sesuai dengan kompetesinya masing-masing.
Saya termasuk yang berpendapat bahwa rumusan Pasal 1365 KUHPer itu adalah sangat luas, biasanya para ahli hukum sering menyebutnya "pasal sapu jagad" karena apapun objek dan subjek gugatannya bisa diajukan ke peradilan umum.
Misalnya ketika ada pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat, maka bisa jadi yang digugat bukan hanya pemerintah daerah namun juga kepala pemerintahan yaitu presiden.
Berbeda halnya di peradilan administratif yang mengenal teori pertanggungjawaban jabatan, yaitu di dalam jabatan itu melekat pertanggungjawaban, artinya pejabat yang melaksanakan tindakan maka pejabat tersebut pulalah yang harus bertanggungjawab. Misalnya kepala daerah yang melakukan pelanggaran hukum, maka hanya kepala daerah tersebut pulalah yang dapat digugat ke peradilan administratif.
Cakupan Pasal 1365 KUHPer yang sangat luas tentu memiliki kekurangan sekaligus kelebihan. Kekurangannya adalah ketidakpastian hukum subjek gugatan, yang dapat berimplikasi pada gugatan tidak diterima, kelebihannya adalah seluruh OOD yang tidak dapat dijangkau oleh UU administratif dapat dijangkau oleh Pasal 1365 KUHPer, selain itu nilai tuntutan ganti rugi tidak memiliki limitasi. Berbeda halnya dengan peradilan administrtif yang memiliki limitasi tuntutan ganti rugi yaitu maksimal 5 juta.
Bahwa sejak UU Administratsi diterbitkan, memang kompetensi peradilan administaratif diperluas, yaitu mengadili tindakan faktual pemerintah, yang sebagian ahli hukum banyak mengartikannya sebagai OOD, namun sejak terbitnya UU tersebut, masih banyak hakim peradilan umum yang menerima gugatan OOD selain banyak yang tidak diterima dengan alasan adanya UU Administratif. Hal ini tentu telah menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Kedepannya memang perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, apakah OOD tersebut diajukan ke peradilan umum atau peradilan administratif, agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum.
Saya termasuk orang yang berpendapat agar seluruh OOD masuk ke peradilan administratif, karena memang peradilan ini dirancang untuk mengoreksi tindakan pemerintah, jadi peradilan umum (perdata) cukup menyelesaikan perselisihan pribadi masyarakat saja.
Namun yang menjadi catatan adalah agar limitasi tuntutan ganti rugi di peradilan administif dihapuskan, sehingga masyarakat dapat lebih terjamin kepastian ganti ruginya apabila memakai instrumen peradilan administrasi.