Djoko Tjandra terpidana kasus Bank Bali telah menyita perhatian publik akhir-akhir ini, banyak permasalahan yang muncul belakangan akibat kasus tersebut, hingga menimbulkan keguncangan hukum di tanah air. Setelah Djoko Tjandra berhasil ditangkap oleh Bareskrim Polri, maka dipastikan yang bersangkutan akan dieksekusi sesuai dengan Putusan Peninjaunan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang menghukumnya selama 2 tahun penjara.
Sebagai informasi sebelum adanya Putusan PK tersebut, Djoko Tjandra telah diadili pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat kasasi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/PID./2000/PN.Jak.Sel tanggal 28 Agustus 2000 menyatakan "Djoko Tjandra Dilepas Dari Segala Tuntutan Hukum".
JPU kemudian mengajukan Kasasi, namun lagi-lagi JPU kalah, Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1688 K/PID/2000 tanggal 28 Juni 2001 menyatakan "Menolak Permohonan Kasasi Dari Pemohon Kasasi: Jpu Pada Kejaksaan Negarai Jakarta Selatan". Karena tidak mau kalah, JPU kemudian mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 tersebutlah, yang dijadikan alasan untuk mengeksekusi Djoko Tjandra, karena Djoko Tjandra dijatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.
Namun pro dan kontra muncul belakangan, apakah putusan pemidanaan Djoko Tjandra sah atau tidak? Mengingat amar Putusan PK Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 tidak memuat perintah penahanan terhadap terdakwa dalam hal ini Djoko Tjandra. Padahal perintah penahanan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam sebuah putusan pemidanaan.
Apabila syarat tersebut tidak dimuat dalam putusan pemidanaan, maka putusan tersebut berakibat batal demi hukum. Apabila putusan batal demi hukum, maka putusan dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak dapat dieksekusi (non-executable).
Nah untuk meluruskan pro-kontra tersebut, saya ingin memberikan pendapat terkait dengan sah atau tidaknya putusan pemidanaan Djoko Tjandra.
Pertama-tama kita harus bedakan antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil memiliki karakteristik larangan dan sanksi pidana, sedangkan hukum pidana formil memuat tata cara melaksanakan ketentuan mengenai larangan dan sanksi hukuman. Sementara perbedaan lainnya, hukum pidana materiil masih dibolehkan penafsiran hukum oleh aparat penegak hukum termasuk hakim, sementara ketentuan hukum pidana formil.
Aparatur penegak hukum termasuk hakim tidaklah diperbolehkan melakukan penafsiran lain selain apa yang telah ditulis dalam undang-undang (as posited) sehingga terhadap hukum pidana formil berlaku asas "non-interpretable". Karena sifatnya yang as posited maka ketentuan hukum acara pidana harus tertulis (lex scipta), harus jelas dan tidak multitafsir (lex certa) serta harus ditafsirkan secara ketat (lex stricta).
Dengan karakteristik tersebut di atas, maka hukum pidana formil diharapkan memiliki kepastian hukum. Karena pasti, maka kekhawatiran penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum dapat dicegah dan diminimalisir. Kepastian hukum itu sangat penting, karena hukum pidana formil langsung bersentuhan dengan sisi kemanusiaan seseorang baik tersangka, terdakwa, maupun terpidana.
Salah satu hukum formil adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dalam Pasal 197 ayat 1 disebutkan, ada 12 (dua belas) materi muatan dalam sebuah putusan pemidanaan. Salah satunya adalah huruf k, yaitu harus adanya pemuatan perintah penahanan terhadap terdakwa. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka sesuai Pasal 197 ayat 2 KUHAP maka Putusan Pemidanaan menjadi batal demi hukum.
Bahwa perintah penahanan yang disamakan dengan istilah "ditahan" atau "tetap dalam tahanan" dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k adalah bersifat "imperative" dan "mendatory" yang berlaku pada semua tingkatan pengadilan, karena sifatnya "imperative" dan "mendatory" maka jika tidak dipenuhi maka putusan tersebut batal demi hukum. karena batal demi hukum maka putusan yang demikian dianggap "tidak pernah ada", "tidak mempunyai nilai hukum", "tidak mempunyai kekuatan hukum" serta "tidak dapat dieksekusi oleh jaksa".