Lihat ke Halaman Asli

Lebih Damai Tanpa “Liberalisme”

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebulan lebih menjadi kompasianer, saya menemukan banyak hal yang menarik di sini. Pertemanan, kebahagiaan, kegembiraan, kebersamaan, kesedihan, keharuan, saling berbagi, saling menasehati, saling memuji, saling saran, saling canda dan goda. Betapa menyenangkan, dan nyaman sekali. Saya merasa seperti sedang berada di dalam sebuah keluarga besar yang damai walau pun maya.

Semula saya ingin membatasi berkompasiana di bulan Ramadhan ini hanya dengan berpuisi dan berkisah saja. Namun, beberapa hari ini saya membaca tulisan-tulisan yang diramaikan oleh komentar-komentar yang saling “baku kata”. Dimana tulisan-tulisan itu semuanya mengangkat topik dan tag tentang “liberalisme”. Baik tulisan di kanal fiksi maupun non fiksi.

Saya menemukan kenyataan adanya “perseteruan pemikiran” yang masif. Perseturan pemikiran tentang memaknai arti kebebasan, yang selalu muncul pada tulisan-tulisan bertopikan “paham kebebasan”.

Dalam tulisan ini saya menyamakan semua kata “liberalisme” dengan “paham kebebasan”. Istilah ‘liberalisme’ ini berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga akhir abad ke-18 M, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah dibebaskan dari perbudakan atau mantan budak (freedman).

Sebagai adjektif (kata sifat) , kata ‘liberal’ dipakai untuk menunjuk sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka (independent), berpikiran luas dan terbuka danhebat .

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.

Sudah sejak lama saya memiliki pandangan tentang “paham kebebasan” ini, sebagai paham yang sudah basi. Artinya, bukan barang baru. Kebebasan apa pun bentuknya cenderung akan mengarah pada ketidakteraturan. Sedangkan, arah perkembangan kebudayaan manusia itu adalah menuju keteraturan. Bukan “ketidakberaturan”. Sehingga, segala bentuk pemahaman yang berusaha keluar dari keteraturan, sesungguhnya hanyalah kemunduran.

Sebagaimana juga dengan alam semesta ini, yang berpadu dalam keteraturan, bukan dengan .“ketidakberaturan”

‘Kebebasan’ sudah merupakan kodrat manusia dalam bentuk ‘kemauan dasar’ yang ada pada diri manusia sebagai muara dari dorongan nafsunya. Dan pesan-pesan illahi secara bertahap sejak ribuan tahun yang lalu pun sudah dan selalu mengingatkan manusia agar selalu mewaspadai dan menjaga kodrat ‘kebebasan’-nya itu.

Jadi mengapa kita harus terus-menerus berusaha menggali pemikiran agar ‘kemauan dasar’ itu bisa bergerak dan berkembang sesukanya?

Berkompasiana bisa dilakukan karena adanya “keberaturan” bukan “kebebasan”. “Keberaturan” yang mengatur “kebebasan” siapa pun yang ingin menggunakan kompasiana sebagai wadah berbagi pesan, baik dengan menulis maupun berkomentar. Bukan sebaliknya, Maka bagi saya, berkompasiana itu akan menjadi “lebih damai tanpa liberalisme”.

Semoga hidup kita pun selalu menuju ‘keteraturan’ dan damai.

Demikian saja.

{bacaan:

http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme

http://www.hidayatullah.com/read/2221/29/08/2005/memahami-liberalisme.html

http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/indeks/artikel-ilmiah/395-perkembangan-islam-liberal-di-indonesia.html

http://www.lensaindonesia.com/2012/03/09/fauzy-baadilah-indonesia-tanpa-jil-lebih-damai.html }

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline