Lihat ke Halaman Asli

Tugu untuk Saya dan Pelaku Ekonomi Kelas Teri yang Zalim

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya menulis ini sebagai tugu peringatan tentang kekecewaan saya terhadap pelaku ekonomi kelas teri di sekitar saya. Saya merasa telah dizalimi oleh mereka-mereka yang akan kuceritakan di alinea-alinea berikutnya. Intinya, saya sering diharuskan untuk membayar lebih mahal daripada orang pada umumnya. Saya tidak tahu itu baik atau tidak dalam kajian lain, tetapi yang pasti saya merasa tidak senang.

Peristiwa terlama yang masih saya ingat adalah ketika saya pergi ke gunung Bromo. Saya bersama tiga teman saya memutuskan untuk naik kol dari terminal Bayuangga menuju Bromo, bukan sepeda motor seperti orang Probolinggo pada umumnya. Sebagai catatan kami semua orang Kota Probolinggo dan Probolinggo kota. Tarif yang dikenakan kepada kami adalah Rp 25.000, sama dengan seorang turis Jerman pria yang seperjalanan dengan kami. Pada waktu itu saya merasa harga segitu memang tidak wajar. Sebagai bandingan saja: bus biasa dari Probolinggo ke Surabaya hanya Rp 17.000. Namun saya tidak melayangkan penyangkalan apa pun waktu itu. Itu adalah kali pertama naik armada umum menuju Bromo. Jadi saya tidak punya pengalaman apa pun sebelumnya. Sekian hari kemudian, saya tanyakan harga kol ke Bromo kepada teman-teman sekolah. Tarifnya memang beragam, namun dapat kurangkum sebagai berikut: orang biasa paling mahal hanya belasan ribu, tidak sampai Rp. 15.000, kalau orang yang tinggal di sekitar Bromo tidak sampai Rp. 10.000, dan kalau berseragam sekolah cuma Rp 3.000, serta kalau berhubungan dekat dengan supir atau kernetnya boleh naik dengan percuma alias gratis! Saya merasa dungu sekali setelah mengetahuinya.

Bukan itu saja, saya kembali naik kol. Namun kali ini dari rumahku di Sumber Taman Indah menuju terminal Bayuangga untuk kemudian pergi naik bus ke Surabaya. Perjalanan seperti ini sudah beberapa kali saya lakukan dan selalu membayar Rp 4.000. Namun, kali itu berbeda, saya diturunkan di setengah perjalanan. Kolnya mau putar balik karena sepi. Uang Rp 4.000 saya dikembalikan hanya Rp 1.000. Kemudian saya naik kol berikutnya yang akan menurunkan saya di terminal. Saya membayar lagi Rp 4.000. Kernetnya menolak. Ia meminta Rp 7.000. Saya merasa seperti dipalak. Saya mendebat si kernet. Ia tidak pintar beralasan, tetapi tentu pintar memelas dan menggertak dan semacamnya. Ia berkata bahwa tarifnya sudah naik padahal waktu itu tidak ada peristiwa ekonomi apa pun yang bisa dijadikan alasan. Ternyata benar ia berbohong, di suatu hari ketika saya naik kol lain dengan mbak saya. Kami hanya dikenakan Rp. 5.000 (mbak saya sempat mendebat saat itu karena biasanya hanya Rp 4.000, namun sepertinya memang ada kenaikan). Dan Rp. 5.000 seterusnya untuk perjalanan itu.

Beberapa hari yang lalu saya harus menggandakan kunci kos. Saya belum pernah menggandakan kunci sebelumnya. Saya menggandakan ke tukang kunci di pinggir jalan sekitar Ngagel, Surabaya. Tidak lama, kunci telah tergandakan. Saya bertanya tentang harga. Ia menjeda untuk mengamati saya dan teman saya, kemudian ia seakan memutuskan harga: Rp. 10.000. Saya tahu itu terlalu mahal. Tetapi sekali lagi saya tidak tahu harga pada umumnya. Esok hari saya diberitahu oleh teman saya tadi bahwa menggandakan kunci hanya cukup dengan Rp 5.000! Saya sudah muak diperlakukan seperti ini!

Dan kejadian seperti itu cukup sering terjadi pada saya, saya tidak yakin apa sebabnya. Saya jengkel. Dari tukang becak, ojek, pedagang pasar, loper koran, pramubarang dan sejenisnya seakan memandang saya sebagai target yang empuk untuk ditipu-tipu. Harga yang ditetapkan kepada saya lebih tinggi daripada harga pada umumnya. Itu tetap memuakkan bahkan setelah saya mencoba berbagai hal. Saya telah berusaha ramah. Saya telah berusaha memakai bahasa Jawa Kromo atau Madura (dan saya masih terus belajar agar fasih menuturkannya). Saya telah berusaha berpakaian sesederhana mungkin. Saya telah berusaha menyanggah. Saya telah berusaha menawar. Saya telah berusaha membawa-bawa jati diri saya: “Sama-sama orang Probolinggo, Pak” atau “Aku mahasiswa, Pak” dan semacamnya. Namun itu semua tidak banyak membuahkan hasil.

Saya tahu, ini ada kaitannya dengan nepotisme dan koncoisme serta sentimen rasis. Nepotisme dan koncoisme karena mereka selalu menggratiskan atau memurahkan biaya yang dikenakan kepada teman dan keluarga. Saya rasa itu bukan perilaku ekonomi yang baik. Perilaku ekonomi yang kuno itu benar-benar tidak profesional dan merugikan.

Nah, mengapa sentimen rasis? Jadi sebagian orang menyebut saya Cina dengan pengamatan yang sembarangan dan tidak cermat. Padahal kulit saya berwarna sawo matang dan mata saya tidak sipit-sipit amat. Beberapa teman menyebut saya Cina Bongkaran, Cina ga Jadi, Cina Hitam dan sebagainya. Namun itu tidak masalah bagi saya, saya baik-baik saja. Leluhur saya memang ada yang Cina, tetapi sudah kawin beberapa kali dengan suku Madura, Jawa, Osing dan menghasilkan saya. Yang masalah bagi saya ketika yang melakukannya bukan teman saya, namun orang lain yang tidak saya kenal. Beberapa kali ada yang menceletuk kepadaku dengan ragu-ragu di ruang khalayak: “Cina” atau “Kayak Cina” dan yang lebih parah “Turis”.

Dan parahnya lagi sudah beberapa teman berkata bahwa saya tidak memiliki wajah muslim. Halo? Maksudnya? Ya, sudah beberapa kali saya harus menegaskan bahwa saya seorang muslim. Bahkan di hari raya natal barusan, seorang teman muslim mengucap Selamat Natal kepada saya. Jadi malam itu telah terjadi: seorang muslim yang mengucap Selamat Natal kepada seorang muslim. Saya sangat terhibur di malam itu. Santa telah memberi kado kelakar terlucu kepada saya.

Saya jadi teringat dengan salah satu video yang diunggah Sacha Stevenson di saluran YouTube-nya. Video itu mengenai Cina-Indonesia, saya tak ingat judulnya. Salah satu adegannya bercerita tentang seorang pribumi (saya tidak suka istilah ini) menjual sesuatu dengan harga Rp 10.000/kilo kepada sesama pribumi (saya masih tidak suka istilah ini). Akan tetapi ketika seorang Cina membeli, harganya tiba-tiba naik menjadi Rp 15.000/kilo dengan alasan yang dibuat-buat. Itu adalah kritik yang benar dan menghibur. Saya suka.

Jadi begini, saya saja yang “Cina ga Jadi” ini diperlakukan seperti itu di tengah pelaku ekonomi kelas teri, apalagi saudara-saudari kita yang benar-benar Tionghoa? Sudah waktunya untuk memasyarakatkan kesetaraan dan melambungkan jauh-jauh koncoisme, nepotisme dan terlebih rasisme dari bumi kita tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline