Lihat ke Halaman Asli

Anak-anak Genangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di pagi yang baik, saya tergugah untuk membuka Gmail.com dan memastikan segala surel penting telah terbaca. Satu surel baru menyita perhatian saya lebih, seseorang dari Simon & Schuster mendonasikan beberapa dolarnya untuk penggunaan dua typeface yang saya bagi-bagikan gratis di internet.

Sebagai ungkapan rasa syukur, saya meluangkan beberapa rupiah dari dompet saya untuk berbagi. Saat itu saya putuskan untuk membeli satu pak wafer renyah dengan karamel dan rice crispyyang dibalut dengan coklat lezat. Harganya hanya Rp 23 kalau sudah diredenominasi, dan berisikan 25 bungkus.

Di sore yang mendung seusai hujan, saya berkeliling kota untuk mencari anak-anak bermain mana yang tepat untuk diberi hadiah. Akhirnya saya sampai di daerah persawahan yang dipecah dua oleh jalan aspal kecil dan digusuri oleh rumah-rumah yang dibangun acak. Di sana ada genangan air yang cukup luas, banyak anak kampung berusia sekitar 8-10 tahunan tengah bermain-main dengannya. Waktu itu saya pikir mereka adalah anak-anak yang tepat.

Saya membelokkan setir dan berhenti. Sebagian dari mereka memandang tajam dan bersikap diam. Namun semua menjadi cair ketika saya mengucap kata “jajan”. Seketika mereka berbondong-bondong mengerubungi saya, ada gula memang ada semut. Lalu saya bagi-bagikanlah satu per satu kepada mereka. Keadaan menjadi semakin tak terkendali, saya merasa terancam dan tak aman lagi.

Beberapa anak langsung menyembunyikan jajannya dan meminta jajan lagi dengan dalih belum diberi. Tangan mereka meminta-minta sambil mulut mereka tak berhenti berkata-kata. Sebagian anak dengan lancang merogoh kantong plastik saya untuk mendapatkan ekstra. Saya rasa itu waktu untuk pergi. Aku titipkan 2 bungkus jajan kepada seorang anak untuk 2 teman mereka yang tengah berlari ke arah kami. Namun ketika mereka tiba, anak itu tampak mengelak memberikan jajan kepada mereka.

Sepanjang perjalanan pulang saya tak berhenti berpikir. Bagaimana bisa jiwa-jiwa semuda kecambah sudah kehilangan keluguan mereka sebagai manusia dan cenderung bersifat kriminal. Benak saya membuahkan satu kesimpulan: keterhimpitan ekonomi. Anak-anak yang berkelakuan di luar konformitas seperti mereka memang umumnya mudah ditemui di masyarakat berekonomi lemah dan jarang sekali ditemui di masyarakat ekonomi menengah ke atas. Mereka tidak menemui keterpuasan jiwa raga dalam keluarga mereka sehingga memaksa mereka mencari keterpuasan di luar keluarga bersama teman bermain mereka yang sepenanggungan. Ketikamereka berkumpul, konsolidasi terjadi. Kelompok akan semakin kuat dan berkemungkinan besar menciptakan struktur serta hierarki sosial sendiri. Alhasil sekolompok anak terkonsolidasi dengan versi pranata mereka sendiri siap mengguncang Anda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline