Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Oh Indonesiaku

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika kubaca buku sejarah Indonesia selintas saja, maka nyaris tak kutemui negeri ini damai apalagi sejahtera. Mungkin ada masa pendek saja, seperti masa Ratu Shima, yang masyarakatnya jujur, aman, dan menghormati pemimpin karena mereka layak dijadikan teladan. Kisah terkenal, bahwa ada kerabat Ratu Shima yang berbuat salah dan hukum tetap ditegakkan oleh Ratu, menjadi catatan bertinta emas hingga kini.

Majulah sedikit ke masa pembangunan candi-candi megah yang lestari sampai kini, prambanan, borobudur, mendut, dan lain-lain. Mesti pembangunannya membutuhkan waktu yang lama dan dalam masa yang (mungkin) damai.

Dan maju sedikit ke masa Majapahit, yang menaklukkan raja-raja kecil seantero nusantara, bahkan sampai Filipina, Malaysia, dan sebagian wilayah India.

Namun, apakah pada masa-masa tersebut Indonesia seluruhnya tenteram? Apakah damai? Apakah makmur? Hehehehe... yakinlah tidak. Apalagi jika maju ke masa penjajahan Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang, hadeuh..... tidak usah diomong lagi. Masa pasca kemerdekaan, masa Bung Karno, masa Pak Harto, Masa Pak Habibie, Masa Gus Dur, Masa Mega, dan terakhir masa SBY, nyaris semuanya masa-masa menyedihkan (dalam perasaanku).

Seolah hanya ada jeda-jeda waktu singkat, di mana bangsa ini adalah bangsa bermartabat, bangsa yang hebat, bangsa yang memiliki kekuatan dan keperkasaan.

Cobalah bayangkan...... Bangsa yang damai, aman, sejahtera. Rakyatnya tidak ada yang kelaparan atau susah mencari kerja. Polisinya melindungi dan menghormati warga negara, bukan suka nyemprit ujung-ujungnya minta duit. Hakimnya jujur adil bijaksana, tak mau disuap apalagi minta suap. Aparaturnya bersih, disiplin, jam 8 pagi sudah ngantor semua, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, senyum ceria melayani warga negara yang membutuhkan surat-menyurat, tak mau menerima pemberian, apalagi meminta 20 ribu atau 50 ribuan. Bupatinya tiap hari mengecek jalan dan jembatan sampai ke pelosok-pelosok perbatasan, jika ada yang berlubang kecil segera di aspal lagi. Bupatinya tidak sibuk mengatur proyek (supaya sebagian uangnya masuk kantong), atau sibuk ke Jakarta untuk karaoke, bersenang-senang saja. Gurunya rajin mengajar dan selalu profesional, datang jam 7 pagi, pulang jam 2 siang setiap hari kecuali hari libur. Dokternya baik-baik, tidak meminta ongkos yang justru mempercepat kematian pasien karena biayanya yang mencekik. Ulamanya meneduhkan hati, memberi petunjuk kepada jalan yang benar, dan benar-benar mengarahkan kepada ridho Allah untuk masuk surga. Nah... masih panjang.

Tapi kini...
Hampir Semua jalan dan jembatan rusak ...
Begal membayangi di sepanjang jalan ...
Polisi nenakuti ...
Birokrasi intinya minta amplop ...
Guru, hadeuh ... menyedihkan ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline