[caption id="" align="aligncenter" width="520" caption="Louisa setelah teror Sydney yang dilakukan Man Haron Manis. (News.com.au)"][/caption] Kemungkinan trauma masih ada pada keluarga korban bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002.Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta,Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. (sumber).
Ledakan bom Bali (Sumber gambar: disini.) Trauma itu mungkin belum sembuh, kini warga Australia dihebohkan dengan teror Sydney dengan drama penyanderaan yang mencekam di Kafe Lindt, Sydney, Australia, telah merenggut 2 korban jiwa sandera. Setelah 16 jam yang menegangkan, drama penyanderaan di Lindt Café, Sydney Australia berakhir. Pelaku yang bernama Man Haron Monis tewas setelah polisi anti teror Australia melakukan serangan untuk membebaskan sandera. Haron Monis ternyata bukan anggota kelompok teroris manapun. Jadi salah jika ada yang menuduh bahwa Monis adalah anggota ISIS atau bahkan ada yang menuduh Syiah. Dimana kita tahu sebentar lagi warga Australia yang beragama Nasrani sebentar lagi akan merayakan Natal dan Tahun Baru, mereka diguncang teror yang mengatasnamakan Islam dalam aksi teror itu. Kenapa hampir semua aksi teror di dunia ini menggunakan label dan embel-embel Islam? Pertanyaan ini yang masih menjadi perdebatan seru. Ada yang mengatakan ini konsfirasi. Ada lagi yang mengatakan memang ini adalah sifat "oknum" umat Islam sendiri yang salah dalam memahami ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Trauma dan kebencian kepada Islam bagi warga Australia yang mungkin sudah hampir hilang kini muncul kembali. Dipicu dengan drama penyanderaan yang membawa label Islam. Memang cukup disayangkan. Padahal munkin motifnya murni kriminal. Dalam kacamata penulis peristiwa ini mencoreng lagi nama Islam yang memang sudah parah dengan tindakan-tindakan kelompok-kelompok separatisme Islam garis keras yang berusaha ingin membentuk pemerintahan dan negara Islam di wilayah-wilayah yang telah resmi memiliki pemerintahan sendiri yang telah diakui dunia internasional. Peristiwa terorisme di Sydney ini sebenarnya tergolong nekat. Dengan drama penyanderaan yang terjadi di siang bolong dan resikonya pastilah bakal tertangkap. Beda dengan peristiwa bom Bali yang pelakunya susah tertangkap dan membutuhkan waktu yang lama untuk membongkar jaringannya. [caption id="" align="aligncenter" width="430" caption="Puing-puing dan korban bom Bali (Sumber gambar : disini)"]
[/caption] Seperti kasus bom Bali pihak Polri melalui Densus 88 cukup repot untuk membongkar dan membekuk Amrozi CS. Bahkan adatuduhan rekaya atas penangkapan para teroris yang dilakukan oleh Densus 88. Namun keberhasilan Densus 88 perlu diapresiasi dan mendapat acungan jempol. Hal ini terbukti sampai saat ini terorisme di Indonesia sudah tak terdengar lagi. Sebagai penutup artikel ini, penulis hanya ingin menyimpulkan bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian di seluruh dunia ini. Memang sangat sulit menghilangkan trauma apalagi dengan tendensi kebencian. Bagi umat "Islam rahmatan lil alamin" yang mempunyai sikap toleransi yang tinggi dengan umat lain, pastilah menjadi beban berat untuk membela dan meluruskan bahwa umat Islam benar-benar cinta damai dan membawa rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H