Bencana alam merupakan sebuah misteri yang tidak dapat diprediksi secara akurat kapan akan terjadi dan siapa yang akan mengalami nasib buruk dalam kejadian bencana tersebut. Masih teringat jelas dalam ingatan kami para penduduk di kepulauan Nias pada saat terjadi bencana alam gempa bumi dahsyat pada tanggal 28 Maret 2005 silam. Sungguh kejadian yang sangat memilukan hati. Jelas saja dimalam yang sangat tentram dan damai, ketika masyarakat tengah beristrahat di rumah masing-masing, tiba-tiba getaran yang amat dahsyat meluluh-lantahkan seluruh wilayah kepulauan Nias tepatnya waktu menjelang tengah malam. Gempa dengan kekuatan 8,7 Skala Richter itu merenggut kurang lebih 1500 korban jiwa dan menghancurkan 60 persen seluruh bangunan yang berdiri di daratan pulau Nias.
Waktu kejadian itu terjadi saya masih duduk di bangku salah satu sekolah menengah pertama di Kota Gunungsitoli. Saya hampir tidak mengingat sepenuhnya apa yang terjadi pada malam itu karena kejadiannya berlangsung dengan sangat cepat. Seingat saya pada malam itu tiba-tiba saya terbangun akibat getaran kuat yang membuat saya terjatuh dari tempat tidur.
Saya terbangun dalam keadaan gelap, listrik telah padam. Dan saya masih ingat ketika mendengar suara tante saya yang berteriak memanggil-manggil nama saya dari balik pintu kamar sambil menendang-nendangnya, sepertinya dia berusaha untuk mendobrak pintunya. Lantas saya lekas bergegas menuju pintu kamar karena ketakutan akibat suasana yang semakin mencekam.
Kini saya tidak hanya mendengar suara tante saja, semakin banyak suara teriakan yang entah darimana asalnya dan suara-suara gemuruh lainnya yang sepertinya berasal dari reruntuhan bangunan. Ketika telah berhasil menggapai pintu kamar, anehnya seperti ada yang mengganjal pintu kamar saya sehingga agak sulit untuk dibuka. Pada akhirnya pintu itu dapat terbuka juga setelah tante saya mendobraknya sekuat tenaga dari luar.
Ketika berhasil keluar dari kamar lantas saya bergegas lari bersama dengan tante menuju keluar rumah, namun baru beberapa langkah berlari dari pintu kamar tiba-tiba ada sesuatu yang terjatuh tepat dihadapan kami. Ternyata itu adalah salah satu dari sepeda motor yang kami parkir dekat ruang tamu menuju pintu keluar rumah. Sungguh beruntung saya rasa, seandainya tertimpa, mungkin itu akan menjadi penghambat bagi kami untuk melarikan diri keluar dari rumah. Tanpa berpikir panjang lagi kami akhirnya bergegas berlari menuju ke luar rumah tanpa memperhatikan sekeliling dan mengamati puing-puing bangunan yang kami lalui.
Setelah berhasil keluar rumah pemandangan pertama yang saya dapati sungguh sangat menakutkan. Di sana saya melihat bangunan auditorium milik salah satu yayasan gereja yang sedang dalam tahap pembangunan rata dengan tanah dalam sekejap. Bangunan sekitar tiga lantai itu telah melewati proses pembangunan yang cukup lama, dan pengerjaannya mungkin tidak lama lagi akan rampung. Namun semua proses pembangunan itu sirna hanya dalam hitungan detik saja.
Yang saya dapati selanjutnya adalah bangunan rumah kami yang dindingnya roboh di salah satu kamar yang ditempati oleh kakak saya bersama dengan tante. Saya tidak tau bagaimana caranya mereka selamat dari tembok yang rubuh itu. Teriakan-teriakan saya dengar, masyarakat yang berlari kesana-kemari untuk menyelamatkan diri ditambah bangunan-bangunan yang telah roboh membuat susasana pada malam itu sangatlah mencekam.
Pada akhirnya kami bersama dengan warga lainnya melarikan diri menuju wilayah perbukitan karena ketakutan akan tejadinya bencana tsunami yang sebelumnya telah terjadi di Aceh. Saya masih ingat pada waktu itu, saya tidak mengenakan alas kaki apapun, pakaian yang saya kenakan masih pakaian yang saya kenakan waktu tidur. Setidaknya saya masih bersyukur bahwa karena selain saya masih ada yang lebih memprihatinkan. Yang begitu memprihatinkan pada malam evakuasi itu adalah para ibu yang membawa anak balita dan orang yang lanjut usia. Mereka harus menempuh perjalanan yang cukup sulit menuju perbukitan tanpa menggunakan alas kaki atau alat bantu apapun.
Masyarakat takut untuk kembali masuk ke dalam rumah untuk sekedar mengambil pakaian, maupun barang-barang berharga yang sempat untuk diselamatkan karena mereka takut akan terjadi gempa susulan. Sementara itu mereka juga kuatir dengan kondisi bangunan rumah yang tidak dapat diprediksi tingkat kerusakannya karena tidak ada pencahayaan yang akibat listrik padam.
Cerita singkat di atas merupakan salah satu pengalaman dari sekian banyak kisah pilu yang kami alami ketika bencana alam gempa bumi itu terjadi.
Pasca gempa terjadi, pembangunan kembali dilakukan di kepaulauan Nias. Kami merasa beruntung dengan banyaknya uluran tangan dari masyarakat, pemerintah dari dalam maupun luar negeri yang datang menghampiri kami para korban bencana alam. Kini perlahan-lahan trauma masyarakat akan kejadian bencana yang terjadi 12 belas tahun lalu mulai berkurang. Namun demikian banyak hal baik yang dapat di ambil dalam kejadian mengerikan tersebut.