Saya akan lebih memilih terminologi ‘tidak sepakat’ daripada ‘melawan’ atau ‘anti’. Berkaitan dengan Ahok maka saya tidak sepakat dengan ia. Bukan karena ia china apalagi karena ia bukan muslim. Alasan-alasan tersebut hanya sama akan memposisikan saya tidak jauh berbeda dengan Ahok, sama-sama degil dan banal. Saya tidak sepakat dengan Ahok karena ia tidak berpihak. Tidak berpihak pada rakyat miskin, rakyat yang ia anggap sebagai sampah ibukota, pada kampung-kampung kumuh yang mengotori cantiknya Jakarta –meski beberapakali selalu gagal dalam usaha mempercantik Jakarta-, atau pada rumah-rumah penduduk yang berada di wilayah hijau. Ahok justru lebih berpihak pada pemilik Kapital. Ketika para pengusaha ingin membicarakan bisnis yang mempercantik Jakarta maka Ahok dengan handap asor menerimanya dalam dialog-dialog santun ala-ala pemimpin bijak.
Ahok benar, bahwa menyerobot tanah negara untuk tempat tinggal, secara rasional berkewajiban untuk dibereskan. Ahok benar, bahwa kawasan hijau merupakan daerah resapan yang harus bebas dari bangunan. Disisi itu Ahok benar. Ia menggunakan logikanya. Menggukan dalih bahwa hukum harus ditegakan, bahwa ia seperti macan penjaga konstitusi bahwa segala sesuatu harus berdasarkan atas nama hukum sesuai amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Kemudian atas dasar hukum, ia merasa sangat benar ketika menggusur rumah-rumah di bantaran kali. Sejak Januari hingga Desember 2014, Pemerintah DKI Jakarta telah menggusur 26 pemukiman penduduk. Penggusuran itu mengakibatkan 3.513 bangunan hancur, 3.751 Kepala Keluarga dan 13.852 jiwa kehilangan tempat tinggal.[1] Dimana dari 26 penggusuran tersebut, 19 tanpa proses negoisasi. Bandingkan dengan keberpihakan pada pengusaha, kemana saja Ahok ketika lahan hijau justru digunakan pusat perbelanjaan seperti Mal Season City dan Mal Taman Anggrek. Saya mengutip data dari Aktual.com terkait lahan hijau:
Seperti pertanyaan saya diatas, mana keberanian Ahok untuk mengembalikan lagi lahan yang disalah gunakan sebagai pemukiman atau pusat bisnis menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) kembali?. Saya belum menemukan keberanian Ahok untuk mengusir para pemilik modal dari tanah yang seharusnya haram digunakan selain sebagai RTH.
Kemudian, ketidak konsistenan Ahok dalam berjuang membangun Jakarta terlihat tampak jelas dalam kasus Reklamasi Teluk Jakarta. Para pemodal besar yang telah menitipkan modal dalam menyukseskan Ahok jadi pemimpin Jakarta sepertinya ingin menagih janji Ahok. Penindasan pun terjadi, kali ini Ahok tidak (hanya) mengusir penduduk di Utara Jakarta, yang mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan. Ahok turut andil dalam ‘membunuh perlahan’ mata pencaharian para nelayan. Laut Teluk Jakarta yang dijadikan harapan banyak nelayan Jakarta, lagi atas nama hukum boleh di reklamasi. Laut menjadi penuh kotor dan mengalami pendangkalan. Kemudian ekositem hayati laut Teluk Jakarta menjadi tidak hidup, ikan lari ke lain tempat dan nelayan kehilangan sumber penghidupannya. Teluk Jakarta kemudian hadir sebagai tempat tinggal bagi para perlente-perlente yang tak mengenal kehidupan kumuh dan perjuangan para nelayan Jakarta. Ahok berdalih bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 1995, Gubernur telah diberikan kewenangan dalam melakukan reklamasi. Ahok tak gentar dan menjunjung tinggi dasar hukum tersebut meski rakyat harus menjadi korban penggusuran, meski proses reklamasi melalui transaksi-transaksi yang tidak sehat. Ahok bergeming, sekali lagi; semua atas dasar Hukum.
Hukum tidak saja berlogika namun juga bernurani
Apa yang dilakukan Ahok dan dalih yang terus diucapkan Ahok seolah hanya ingin menunjukan bahwa Ahok adalah sosok pemimpin yang positivistik, meski ia sebenarnya ingin menunjukan diri sebagai sosok yang progresif. Melakukan pembenahan yang tidak beres di Jakarta agar Jakarta menjadi lebih baik dari pemimpin sebelumnya.
Ahok pun ingin menunjukan bahwa ia adalah macan yang menjaga Jakarta dengan menegakan bahwa ketentuan Hukum dengan absolut, apapun yang terjadi dan apapun risikonya. Ibaratnya, jika ada satu tikus yang masuk di lumbung padi, Ahok tak segan untuk membakar lumbung padi beserta isinya. Tak peduli dampaknya bagaimana kedepan yang penting tikus harus binasa. Di posisi tersebut, Ahok menjadi pemimpin kaca mata kuda dalam menerjemahkan ‘hukum’.
Ia lupa, bahwa hukum tidak hadir untuk hukum itu sendiri sebagaimana digagas oleh ilmu hukum positif namun hukum hadir untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia bersama. Artinya diposisi tersebut, hukum mengantarkan pada satu proses yang selalu untuk menjadi (law in the making). Ide tersebut akan berdeda dengan aliran positivistik yang menggunakan sarana analytical jurisprudence. Bagi kalangan Positivistik, kebenaran terletak dalam tubuh peraturan, kata-kata dalam pasal yang menjadi kekuatan nilai-nilai hukum tersebut, sehingga bersifat dogmatik dan sangat kaku. Kaum positivis menyerahkan persoalan hukum yang kompleks, seutuhnya pada bunyi pasal-pasal jika permasalahan tersebut berbeda dengan bunyi pasal-pasal maka bertentangan dan tidak bisa ditolelir. Seperti itulah sosok Ahok dalam memandang dan memaknai Hukum. Sayangnya, Ahok bukanlah pemimpin yang konsisten. Ketika ia memang menjadi seorang yang murni positivistik, ia pun tidak akan pandang bulu dalam menerapkan hukum tersebut. Ia akan berani dengan lantang menggusur kawasan-kawasan hijau yang telah disalah fungsikan atau ia pun akan berada di garda terdepan dalam menolak mahar-mahar sampah yang mengganggu kharismanya sebagai sosok pemimpin bebal tapi berpihak pada rakyat dan kemajuan Jakarta. Sekali lagi, Ahok terlalu ahli menjadi pemain sirkus dan teater, ia bisa sangat galak bak malaikat penjaga pintu neraka jika berhadapan dengan si kere, si miskin, si pemulung, si tukang siomay, si anak jalanan. Namun, ia sangat ramah seramah doorman hotel bintang lima yang melayani tamu-tamunya. Ia menjadi sangat fleksibel dan santun jika berhadapan dengan para pengembang yang mengantongiide penghisapan yang berbalut pembangunan Jakarta.
Kembali soal pandangan hukum Ahok. Ahok mencitrakan dirinya sebagai sosok tegas, progresif revolusioner. Sayang sekali, itu hanyalah citra artifisial yang ringkih dihantam realitas. Ahok gagal memaknai progresif itu sendiri, dalam hukum saja Ahok telah menjadi sosok positivistik, kaku dan tentunya keras Kepala.