Lihat ke Halaman Asli

Pejabat Negara: Dekadensi Mental Negarawan

Diperbarui: 6 April 2016   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, banyak media yang memberitakan tentang Anggota DPR yang meminta fasiitas Negara, istri-istri anggota DPR yang pelesirian ke luar negeri dan anggota DPRD yang meminta fasilitas pada menteri MenPAN-RB untuk berkunjung ke Sydney. Persoalan tersebut seoalah ingin menggambarkan watak-watak dari para wakil rayat negara ini. Sebagai wakil rakyat yang notabene merupakan bagian dari pejabat negara, sangat rentan dalam penggunaan fasilitas negara. Tugas dan tanggung jawab yang tinggi dan beban kerja yang berat menjadi alasan pembenar bahwa pejabat negara memang memiliki hak untuk di fasilitasi. Namun apakah serta merta fasilitas negara dapat digunakan untuk kepentingan pribadi? Kepentingan yang tidak ada sangkut pautnya bagi kepentingan rakyat?

Jika merujuk pada definisi fasilitas negara dalam Kepmen Keuangan No 225/MK/4/1971 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Barang-barang Milik Negara, bahwa yang disebut fasilitas negara adalah dikuasai oleh negara/pemerintah, dibiayai oleh APBN atau APBD, di bawah pengurusan lembaga-lembaga negara dalam arti yang luas, tidak termasuk barang atau kekayaan yang dimiliki oleh BUMN/BUMD, yang pemanfaatannya ditujukan secara khusus untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Artinya penggunaan fasiitas negara harus bermuara pada kepentingan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.

Pengertian tersebut tegas, bahwa penggunaan fasilitas negara, sekecil apapun tidak memiliki korelasi dengan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi tidak dapat di fasilitasi oleh kepentingan negara.

Dekadensi Mental Negarawan

Menurut Prof Bagir Manan, lembaga negara terdiri dari tiga jenis berdasarkan fungsinya, yaitu fungsi lembaga negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kemudian lemabaga negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk dan atas nama negara. Dan lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan negara.[1] Artinya pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung.

Tentu sebagai pejabat negara sikap dan tingkah lakunya menjadi cerminan identitas bangsa dan negara. Tidak terkecuali dengan keluarganya. Oleh karena itu,  sikap negarawan pejabat negara dan keluarganya menjadi hal yang penting karena daya sorot publik pada jabatan yang diembannya.

Pelajaran penting terjadi di awal tahun ini. Semacam perwajahan dari pejabat negara saat ini bahwa dengan mengatas namakan jabatannya, statusnya sebagai pejabat negara seolah mahfum ketika keluarganya pun ingin menikmati fasilitas negara meski tidak ada sangkut pautnya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu berpelesir. Seolah biasa saja dan tidak perlu malu ketika meminta untuk difasilitasi oleh fasilitas yang menggunakan dana dari APBN atau APBD yang salah satu sumbernya berasal dar pajak yang dipungut dari rakyat.

Akhirnya logika keruh macam apa yang coba dipertontonkan ketika dekadensi metal negarawan menjadi bahaya laten yang terus menampar wajah pejabat negara ini. Pejabat negara tak jarang memamerkan kedegilannya demi kuasa dan hasrat. Diteriaki rakyatnya pun seolah biasa saja, tak jadi soal. Pertanyaanya bagaimana negara ini akan menjadi bangsa yang berwibawa ketika pejabatnya saja menjatuhkan derajatnya dengan mengemis fasilitas negara? Apakah alasan sangat teknis seperti kesulitan mendapatkan akses transportasi lebih penting daripada harga dirinya sebagai seorang pejabat negara atau perlukan menggunakan kop surat resmi lembaga?

 Atau ketika adanya kunjungan dinas, tak ada rasa malu untuk mengajak keluarganya. Kunjungan ke luar negeri seolah menjadi ajang aji mumpung. Mumpung gratis, mumpung dibiayain negara, mumpung ada uang rakyat yang dapat dimanfaatkan. Budaya malu bukan lagi menjadi kebiasaan. Tentu semua kembali pada masing-masing individu.

Rakyat pun seolah tak akan menghiraukan meskipun akhirnya menggunakan uang pribadi dalam pelesiran tersebut. Yang dipahami bahwa pejabat negara di Indonesia banyak yang tidak berpihak pada kondisi rakyatnya. Karakternya kekuasaan hanya melihat rakyat sebagai bagian dari eksploitasi kuasa yang bermanfaat dan dimanfaatkan ketika musim pemilu tiba. Begitulah realitas yang dipahami oleh rakyat kebanyakan. Tidak bisa tidak, akhirnya kinerja pejabat negara yang sungguh-sungguh membangun bangsa ini ternoda oleh sikap dan mental yang dekaden dari sekelompok rombongan genit. Sekali lagi, semua hanya akan kembali pada masing-masing individu.

Rakyat ini sungguh merindukan sosok negarawan seperti Bung Karno yang sampai selesai menjabat sebagai presiden, ia tidak memiliki harta yang berlimpah sepantasnya ia sebagai pendiri bangsa, begitu pula Bung Hatta yang mengajarkan kesederhaan pada keluarganya atau mantan Kapolri Hoegeong yang hidup sederhana dan tegas dimulai sejak dalam keluarga atau Baharudin Lopa, yang meminta isrtinya lebih baik naik angkot ke pasar daripada menggunakan mobil dinasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline