Kini tanaman cengkeh kami didesa Pacar, Manggarai Barat, kembali menunjukan tanda-tanda berbuah. Sejumlah petani cengkeh sangat antusias dengan senyum sumringah, sembari menggantungkan harapan bahwa ekonomi kembali berdenyut diwilayah ini.
Sekitar 75 persen penduduk Desa Pacar memiliki kebun cengkeh. Ada kebun cengkeh yang merupakan warisan dan ada juga yang hasil jeripayah sendiri, kebetulan penulis termasuk diantara keduanya (hehe). Disetiap lereng dan perbukitan di wilayah ini tampak dipenuhi rerimbunan pepohonan cengkeh.
Musim panen masih menunggu dua sampai tiga bulan lagi. Setiap pagi, warga desa saya menyambang ke kebun masing-masing. Banyak diantara petani memilih untuk berangkat lebih awal, sekitar jam 6 pagi. Karena pada pagi hari, tubuh masih bugar dan kuat sehingga saat mendaki gunung dan perbukitan tidak terlalu lelah. Kendati kebanyakan perkebunan cengkeh didesa saya berada di perbukitan.
Biasanya pada saat musim panen cengkeh tiba, Ganda (kelakar tawa) dan Landu (nyanyian) para pemetik cengkeh memecah keheningan lereng dan perbukitan di desa saya. Kawasan perkampungan sedini mendadak dan kelihatan sunyi, karena kebanyakan warga memanfaatkan waktu untuk memetik cengkeh milik sendiri maupun milik warga lainnya.
Ayunan langkah para petani dan buruh pemetik cengkeh menyasar lereng perbukitan. Celotehan mereka sambil menantang bukit-bukit, disambut hangat kicauan burung-burung dan suara monyet, memacu semangat petani untuk terus mendaki. Tak peduli keringat bercucuran
Setiba dikebun, pemetik mempersiapkan Roto (sejenis empang dari ayaman), tali nilon dan Kaet (kayu kait) untuk dibawa keatas pohon cengkeh setinggi 10 sampai 15 meter. Tali digunakan untuk mengikat dahan dibagian pucuk agar tidak terlalu berayun oleh tiupan angin. Sementara kaet digunakan untuk menarik dahan cengkeh ke dalam.
Kegiatan seperti ini menjadi rutinitas warga desa saya setiap kali memasuki musim panen cengkeh. Sore hari, para buruh pemetik cengkeh mulai turun dari pohon cengkeh sambil membawa cengkeh yang sudah dipetik dari batangnya dan ditaruh didalam roto, karung.
Memetik cengkeh terbagi kedalam dua tahapan yakni, memetik dari batang untuk memisahkan cengkeh dan tangkainya dari pohon, dan memetik cengkeh dari tangkainya saat dibawa dan tiba dirumah masing-masing (pemilik kebun).
Kemeriahan musim panen cengkeh bukan saja berlangsung pada siang hari saja, pada malam hari juga tak kalah ramainya. Pada malam hari di rumah masing-masing melakukan pemisahan bunga dari tangkainya. Pemetikan ini kami namakan Sepuk (memilah bunga dan tangkai), acap kali dilakukan dengan santai, sembari becanda, menonton TV, mendengarkan musik, pokoknya sesantai mungkin.
Dikebun cengkeh milik saya, saya menerapkan tanaman tumpang sari. Tidak hanya cengkeh, penulis juga menanam durian, pisang, rambutan dan kopi. Saya menanamnya di sela-sela pohon cengkeh yang tinggi menjulang. Hasil dari tanaman tumpang sari ini memang tidak untuk dijual, melainkan untuk dikonsumsi sendiri dan kebutuhan keluarga besar.
Pada saat musim panen selesai, hasil panen kebanyakan disimpan, hanya beberapa kilo saja yang dijual. Ini saya lakukan karena pada saat musim panen harga cengkeh cendrung fluktuatif dan jatuh, dan memilih untuk menunggu harga yang bagus dan cocok. Cengkeh ini disimpan digudang dan dialasi oleh papan kayu agar tidak lembab, sehingga kualitas cengkeh terjaga.
Hingga tahun 2019 ini stok cengkeh di rumah masih stagnan, kira-kira 2 ton lebih. Cengkeh ini sengaja ditampung digudang sembari menunggu penawaran yang bagus datang. Mendeati musim panen memang ada kecendrungan harga cengkeh jatuh, sehingga petani cengkeh yang bermodal kecil kewalahan dan terpaksa menjual dengan harga murah. Tapi bagi petani cengkeh yang besar, akan menampung terlebih dahulu menunggu harga yang baik.