Lihat ke Halaman Asli

Guıɖo Arısso

TERVERIFIKASI

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Kritik bagi Kompasianer yang Begitu Vokal Meneriakkan Ketimpangan di Timor Leste

Diperbarui: 21 Februari 2021   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi warga Timor Leste/Stefanus Akim/Tribun

Sudah lama sebenarnya saya ingin mengagihkan kritik pada penulis di Kompasiana yang getol mempergunjingkan pilihan sikap rakyat Timor Leste (TL) untuk memisahkan diri dari Indonesia di masa lalu.

Saya kira, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi dalam ranah ini. Tersebab, pilihan 80 persen rakyat TL untuk berpisah dari NKRI merupakan sebuah konsesus yang telah disepakati oleh bangsa-bangsa.

Tapi memang, jika dibaca rentetan artikel tentang TL yang dianggit oleh si penulis selama ini, ya, cendrung repetitif dan acapkali bertolak dari logika yang sifatnya menyangsikan pilihan rakyat TL.

Kita bisa sigi dari penggunaan kalimat seperti "sudahlah Timor Leste balik ke Indonesia lagi" atau "salah sendiri. Siapa suruh pisah dari NKRI?".

Selain terkesan menyangsikan, tulisan itu pula nir solusi. Ya, sayang sekali. Karena sebetulnya kita sangat mengharapkan hal itu.

Ihwal isu yang dibahas amat krusial, yakni tentang kemiskinan, kelaparan, ekspor-impor, ketersediaan lapangan kerja dan sebagainya. Pembaca pun jadi hilang gairah karena penulis tidak mampu menghadirkan solusi sebagai alternatif/skema pemecahan atas masalah.

Sampai di sini, menurut saya, ada baiknya sikap bijak yang ditonjolkan oleh kita warga negara Indonesia adalah membantu TL mengisi kemerdekaannya. Bukan malah sebaliknya.

Toh, referendum TL waktu itu kan atas persetujuan Pemerintah Indonesia juga. Jadi, apapun hasilnya, ya, harus kita dukung. Begitulah pergaulan antar negara harus dijalankan.

Jika kita tak bisa pergi ke sana untuk membantu mereka keluar dari ketertinggalan, ya, kita bisa bersumbangsih melaui ide/gagasan/solusi untuk mereka. Ini sudah zamanya kolaboratif, bukan eranya menarik garis batas dengan bangsa lain.

Saya megkritisi penulis seperti ini bukan karena atas dasar sentimen pribadi. Tidak, tentu saja. Hanya saja, sebagai langkah memeriksa/menyanggah/menyaring opini--argumentum ad rem (mengutip konsep Dialektika a la Socrates).

Faktanya, diskursus kemiskinan dan/atau ketimpangan di TL tidak bisa disederhanakan begitu saja. Sungguh amatlah kompleks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline