Lihat ke Halaman Asli

Guıɖo Arısso

TERVERIFIKASI

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

"Jangan Larang Saya ke Kebun, daripada Saya Kena Stroke"

Diperbarui: 5 Januari 2021   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bapak saya sementara memangkas ranting kayu gamal yang dijalari stek fanili (Dokumentasi pribadi)

Bapak saya bisa dikatakan 100% guru, 100% petani. Ya. Meski kini beliau sudah pensiun dari jabatan fungsional sebagai guru, tapi tidak demikian dengan hal bertani.

Bapak saya sebenarnya sudah tidak muda lagi. Umurnya sekarang menginjak 63 tahun. Dengan usia tersebut, beliau sudah tergolong lansia dan tidak bisa bekerja yang berat-berat lagi.

Tapi, apa mau dikata, pensiun dari tugas mengajar bukan berarti purna dalam hal bertani. Bapak saya, kalau boleh dibilang, adalah sosok pekerja keras. Bisa dikatakan juga, kebun tidak bisa jauh dari hidupnya.

Secara fisik memang beliau masih kuat dan sehat. Pun sejauh ini Bapak tidak punya riwayat terkena penyakit yang biasanya menjadi keluhan para orangtua seumurannya. Ya. Picunya mungkin karena hobinya tidak terlalu banyak.

Meski demikian, usia tidak bisa menipu. Tentu saja bertolak dari hal itu, kami anak-anaknya acapkali melarang beliau untuk tidak perlu lagi ke kebun apalagi sampai bekerja yang berat-berat. Tapi, malah kami kena semprot beliau:

"Jangan larang saya ke kebun, daripada saya kena stroke". Kemudian diikuti ihwal tanya lain seperti:"Apa kalian mau jika nanti saya jatuh sakit?" Katanya

Begitulah. Situasi yang serba dilematis memang. Tetapi, perdebatan kami di rumah selalu menemukan jalan tengah. Yakni, Bapak boleh pergi ke kebun, tapi dengan catatan hanya untuk sekadar menengok-nengok saja. Jangan lagi menebas ilalang dan seterusnya agar beliau tidak merasa capek.

Pada galibnya, berkebun sudah menjadi pekerjaan sampingan beliau sedari awal mengajar dulu. Yang ditandai juga dengan, sepulang mengajar pada siangnya, sorenya beliau pergi ke kebun sampai matahari ditelan telaga. Begitu terus hampir setiap harinya.

Kebiasanya tersebut, menurutnya, merupakan kosekuensi logis menjadi guru di perdesaan. Maksud beliau, karena pertanian bisa dijadikan obsi lain dalam mencari rejeki selain gaji sebagai guru. Mengingat, di desa lahan bertaninya sangat luas dan berpotensial untuk diolah dan menghasilkan sesuatu. [1]

Entah itu, misalnya, ditanami tumbuhan perdu seperti cengkeh, kopi dan fanilli, tanaman hortikultura dan seterusnya. Singkatnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sehari-hari dan selebihnya bisa dijual untuk mendatangkan uang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline