Lihat ke Halaman Asli

Guıɖo Arısso

TERVERIFIKASI

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Vanuatu, Diskursus Buruk Rasisme, dan Pluralitas Kita yang Dipertanyakan

Diperbarui: 31 Maret 2021   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi rasisme (Gambar: Ekaterina Minaeva via kompas.com)

Lalu lintas diskusi seputar negara Vanuatu beberapa hari terakhir ini begitu ramai di ruang publik. Picunya tak lain karena menyoal tuduhan serampangan Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Bob Loughman yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia abai terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Tuduhan yang dilontarkan oleh Bob Loughman tersebut memang tidak main-main. Kendatipun, dengan sigap tuduhan itu kemudian dibantah oleh Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda yang mewakili Indonesia di PBB. Bahwasannya, tuduhan tersebut sangat mengada-ada, atau dalam bahasa Silvany, "obsesi berlebihan".

Bantahan dan/atau sanggahan Silvany punya maksud yang jelas agar dunia tidak percaya begitu saja pada tuduhan membabi buta PM Vanuatu itu. Langkah yang diambil Silvany ini oleh Sokrates namakan sebagai elegkhos (sanggahan).

Elegkhos dalam dialektika ala Sokrates, bertujuan untuk mengerahkan setiap orang untuk sampai pada pengetahuan sejati/kebenaran. Tentu saja sifatnya melampaui opini, tuduhan, maupun klaim.

Saya pribadi, sebenarnya, tidak ingin mendiskusikan hal itu lagi. Merasa tidak survive saja. Sebab menurut saya, biarkan perkara antar pemerintah Vanuatu dan Indonesia diselesaikan lewat jalur diplomasi.

Namun, yang patut dijadikan keprihatinan bersama adalah imbas persoalan Vanuatu dan Indonesia itu telah melahirkan kebencian antarras.

Hal tersebut tercermin dari komentar-komentar rasial sebagian warganet Indonesia. Tentu saja dalam hal ini pihak yang disasar adalah pemerintah Vanuatu pada khususnya dan umunya penduduk Vanuatu yang notabene ras Malenisia.

Diskursus Buruk Rasisme

Sungguh amat disayangkan karena sebagian besar warganet kita tidak mampu menjaga diri dari ucapan yang menyerang unsur biologis dan/atau badaniah orang lain.

Hal ini sebenarnya 'tidak mungkin' terjadi di tengah diskursus politik. Ihwal, secara politis manusia memiliki kerinduan akan yang lain, kerinduan untuk hidup bersama dalam kebaikan.

Sungguh rasisme masih menjadi momok menakutkan dan akar-akarnya masih belum ditumpas habis di negeri kita. Rasisme masih menancapkan kuku-kukunya di tengah peradaban dewasa ini.

Perilaku banal itu tak hanya berhenti di dunia nyata, tapi juga melebarkan sayapnya di dunia maya (baca: medsos). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline