Jika sebagaian besar angkatan muda Manggarai saat ini pergi merantau, lantas bagaimana dengan generasi muda yang masih setia menjaga tanah Manggarai? Apa yang menjadi mimpi dan harapan para muda-mudi yang saat ini masih tinggal di Manggarai?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi penting jika sejenak direnungkan, akan seperti apa pertanian Manggarai di dua puluh tahun atau bahkan separuh abad dari sekarang.
Pada tulisan sebelumnya yang saya beri judul "Tanah Dijual, Petani Merantau, dan Kampung Sepi", saya menitik-beratkan pada pentingnya anak muda mengolah lahan milik dan bukan malah dengan menjualnya. Tanah musti digarap bukan mendambakan mukjizat (utopis) yang belum pasti di tanah rantau.
Oleh karena itu, pada tulisan kali ini saya ingin mengajak kaum muda yang masih tinggal di Manggarai untuk melihat sesuatu dari tempat kita berpijak. Ukurannya adalah realitas sosial-ekonomi yang kontekstual di sekitar kita.
Sebagai contoh; bagi kita yang hidup sebagai petani di Manggarai, maka konstruksi berpikirnya adalah bagaimana memfungsikan tanah, mengolah perkebunan dan mengairi persawahan.
Lain hal bila kita hidupnya di Jakarta dan kota-kota lain yang keinginannya adalah tinggal di apartemen mewah tanpa polusi. Atau hidup di Amerika yang merindukan demokrasi tanpa rasisme, misalnya.
Kurang lebih begitulah analoginya. Paham ini ada baiknya dihidupkan di dalam kepala anak-anak muda petani Manggarai.
Lebih dari pada itu, sejumlah angkatan muda yang masih bertahan di kampung perlu dididik dengan politik pertanian yang komperhensif dan integratif.
Lebih tepatnya agar konsep pertanian diperhatikan secara menyeluruh, baik dari segi sarana dan prasarana, keterampilan bertani, tata niaga hasil pertanian dan luas lahan pertanian.
Kebijakan antar sektor kekuasaan mesti terintegrasi agar dapat berjalan serentak dan menyeluruh. Hulu politik pertanian yang komperhensif dan integratif yang saya maksudkan di sini adalah kemandirian petani dan kesejahteraan petani.
Etos kerja para petani muda ini harus dan/ musti ditopang oleh pendidikan (baca: penyuluhan pertanian) maupun oleh politik pertanian yang menyasar petani-petani muda.