Di tempat saya, Manggarai, mengikutsertakan anak-anak ke kebun sudah menjadi bagian dari kearifan lokal
Dewasa ini, masih adakah anak-anak yang suka bermain ke kebun? Hampir tidak ada. Aktivitas seperti ini tidak diminati lagi oleh kalangan anak-anak. Mereka lebih doyan dan akrab dengan game online dan atau bermain TikTok.
Bagi kami orang desa, membiasakan anak-anak ke kebun bukan saja artefak---kearifan lokal-- masa lampau, melainkan masih kontekstual dan membumi hingga kini.
Hal ini dilakukan agar eksistensi kearifan lokal tetap kukuh, maka kepada generasi penerus perlu ditanamkan rasa cinta terhadap lingkungan dan atau alam sekitar.
Perlu diketahui juga bahwa, kebudayaan masyarakat Manggarai mempunyai keterkaitan yang integral dengan alam lingkungan hidup. Sehingga sudah menjadi kosekuensi logis bila kebiasaan mengikutsertakan anak-anak ke kebun kian terasa afdol.
Bahkan ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), salah satu cara yang dapat ditempuh oleh sekolah adalah dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam proses pembelajaran, ekstrakurikuler, atau kegiatan kesiswaan.
Adalah melalui pelajaran muatan lokal (Mulok). Di sana diajarkan bagaimana peserta didik membantu orangtuanya bertani dan atau bercocok tanam. Bahkan ada kalanya guru menghukum murid yang kuku jari tangan-kakinya bersih dan panjang.
Konon disinyalir di rumah pasti tidak membantu orangtua berkebun, memasak dan atau mencari kayu bakar. Hahaha
Mengajak Anak-anak ke Kebun
Setiap kali pulang kampung di akhir pekan, saya selalu menyempatkan diri untuk menengok tanaman di kebun. Ya, hitung-hitung berwisata ekologis selepas rigiditas--gindikan kesibukan kota.
Dalam ekspedisi ke kebun tersebut, saya selalu mengajak beberapa anak kecil yang seumuran anak TK-Paud. Dan kebanyakan dari mereka adalah anak dari abang saya dan atau paman.