Pada Februari 2014 yang lalu, berpuluh-puluh pohon cengkeh milik kami patah akibat diterpa angin kencang. Ada pun pohon-pohon cengkeh yang yang patah ini merupakan pohon cengkeh besar dan produktif berbuah setiap tahunnya.
Saya sendiri masih ingat persis kejadian itu. Pohon-pohon cengkeh milik kami yang tingginya menyundul langit itu sekejap rata tanah dalam semalam pada musim penghujan bulan Februari.
Berita buruk itu menyambang sewaktu pagi hari. Kami diberitahu oleh paman Yohanes yang kebetulan tinggal di desa sebelah dan tidak jauh dari kebun cengkeh milik kami.
"Ole bapa. Neka rabo. Tepo taung sit Jengke lau uma dite ho le buru warat rewieng ho." (Aduh bapa. Mohon maaf sebelumnya. Sekadar memberi tahu bahwasannya sejumlah pohon cengkeh milik bapa dikebun patah diterpa angin kencang semalam), jelas paman Yohanes yang kental dengan logat Manggarainya.
"Mori ampong! Terimakasih lite. Pihat ata tepo iwo itat lite?." (Tuhan! Terimakasih informasinya. Berapa pohon yang patah?) Pekik sang bapak.
"Ta kraeng toem danga baet kole gah. Bom tanda lelo demeng sit." (Kurang tahu juga. Mungkin bisa di cek sendiri) pungkas paman Yohanes.
"Io merem nggiti demeng gah.(baik sudah)". tambah bapak.
Beliau pun membangunkan kami sekeluarga dari tidur dan sesekini memberitahu perihal kejadiaan na'as tersebut. Raut wajahnya mendadak memerah dipagi yang beku itu. Kalimat yang keluar dari mulutnya serasa menghendus hubar-habir sampai ke sum-sum tulang belakang.
Sontak kami sekeluarga dibuat panik dan sepenuhnya isi batok kepala kami jadi penpeng. Secepat cahaya setelah menerima kabar buruk itu, kami bergegas ke kebun cengkeh yang jaraknya cukup jauh dari rumah, yakni hampir dua kilo meter.
Dan ternyata benar, sesampainya di kebun empat puluh lebih pohon cengkeh rata tanah. Hamparan pohon cengkeh yang semulanya hijau dan rimbun, kini menyisahkan ranting-ranting yang kaku.
Bapak saya tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Air mata duka merembes di pipinya. Bibirnya pun sedini pucat dan gemetar, hingga enggan berkata lebih. Pandangannya pun tak menentu.
"Bapa, yang sabar. Biar saja. Bersyukur, alam masih menyisahkan sebagian untuk kita rawat" batin saya sembari menguatkan beliau.
"Iya anak" jawabnya singkat sambil memperhatikan situasi di sekelilingnya.