Lihat ke Halaman Asli

“Gantung Di Monas” Versus “Sumpah Pocong”

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Guntur Pribadi *)

Belakangan ini masyarakat Indonesia dipertontonkan perseteruan memanas politikus Anas Urbaningrum versus M Nazaruddin. Meski bukan parodi, namun kesan yang ditangkap terasa seperti dagelan yang boleh dikatakan, antara lucu dan tidak lucu.

Ups! Mengapa lucu? Karena statemen masing-masing politikus tersebut membuat sejenak masyarakat tertawa geli. Dan mengapa tidak lucu, sebab ditengah proses peradilan berjalan, diluar pengadilan ada ‘peradilan’ lain yang juga melakukan ‘tuntut-menuntut’ yang dihembuskan lewat media antara Anas versus Nazaruddin.

Jika Anas menantang penegak hukum dan “penebar fitnah” untuk membuktikan keterlibatannya dalam kasus Wisma Atlit dan proyek Hambalang, dengan tantangan hukuman gantung.  Nazaruddin yang kerap berkicau dengan mencatut nama Anas dipersidangan tak kalah menantang, ia pun, baru-baru ini, menegaskan di hadapan wartawan, menantang Anas dengan sumpah pocong.

Dua tawaran penyelesaian hukum yang dipertentangkan itu sebenarnya tidak ada dalam kamus hukum positif di negeri ini. Namun, dalam kamus politik, penyampaian dengan bahasa yang diplomatis, itu sah-sah saja diutarakan.

Hukuman gantung, jika kita amati sejarah kolonial Belanda memang pernah ada dipraktikkan. Namun, jika ditelaah dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, hukuman gantung tak ada. Apalagi hukuman “Gantung di Monas”?

Demikian halnya, sumpah pocong. Istilah sumpah pocong ini pun sebenarnya tidak dikenal di dalam hukum positif yang berlaku di negeri ini. Dan sumpah pocong ini biasanya lebih banyak dikenal dan dipraktikkan sebagai alat bukti pada penyelesaian hukum yang berlaku di masyarakat.

Di Indonesia, kita bisa dapati alat bukti sumpah yang diatur dalam pasal 177 jo pasal 155 dan 156 Het Herzienne Indonesische Reglement (“HIR”). Dan itupun, sumpah diposisikan sebagai alat bukti paling akhir selain alat-alat bukti lainnya: alat bukti surat/tulisan, saksi, persangkaan-persangkaan, dan pengakuan (pasal 164 HIR). Jadi istilah “Sumpah Pocong” tidak dikenal dalam sistem hukum kita.

‘Perang’ penyelesaian hukuman yang ditawarkan dua politikus itu, ya boleh dikatakan, hanyalah basa-basi politik. Masyarakat saat ini tentu sudah sangat cerdas menilai dan melihat. Jurus-jurus politik yang tak berkualitas, akan sangat mudah tergerus oleh cara pandang politik masyarakat saat ini yang berkembang.

Akrobat politik yang diperlihatkan saban hari di media massa oleh politikus, pun mirip jenakanya Abu Nawas. Selalu ada saja yang terkadang tidak masuk akal diutarakan untuk mengalihkan isu-isu besar nasional. Ya, satu diantaranya yang dapat kita lihat adalah pertentangan hukuman: “Gantung di Monas” versus “Sumpah Pocong”.

Dua statemen tersebut, sesungguhnya tidak berkualitas untuk dikonsumsi di hadapan masyarakat. Apalagi dengan diplomasi, menawarkan hukuman yang kontradiktif dengan hukum positif yang ada dalam sistem hukum kita.

Dikatakan tidak berkualitas, sebab cara pandang penyelesaian hukum yang ditawarkan tidak bisa menyerap keinginan masyarakat yang sesungguhnya. Apakah dengan statemen yang menurut subyektif dua politikus itu sudah ekstrim, bisa memulihkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap praktik korupsi?

Pendidikan politik warga tidak hanya membutuhkan statemen, tapi juga sangat memerlukan kredibilitas, moralitas, dan integritas seorang politikus.

Kendati semua yang melatarbelakangi statemen: “Gantung di Monas” versus “Sumpah Pocong”, itu belum terbukti tuntas di pengadilan. Namun stereotipe yang terbentuk dimasyarakat soal kasus Wisma Atlit dan Hambalang, bukanlah masalah sederhana. Masyarakat, biasanya, lebih dominan cara pandanganya terbentuk dari arus media.

Kita tentu sangat berharap, hukum di negeri ini berani memangkas lelucon yang ‘dipentaskan’ tak lucu tersebut. Hukum harus bisa memposisikan sebagai instrumen yang membuktikan kebenaran dengan kekuasaannya, bukan hanya mengadili siapa yang salah, siapa yang benar.

Perseteruan hukum “Gantung di Monas” atau tantangan “Sumpah Pocong” yang ditawarkan Anas dan Nazaruddin, anggaplah sebagai pentas lelucon politik. Biarlah proses hukum bekerja, membuktikan, dan mengungkapkan kebenaran. Saya kira, penegak hukum lebih tahu, mana hitam, mana putih. Fiat justitia ruat coelum.[]

Blog: www.guguncenter.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline