Lihat ke Halaman Asli

Gufron Gozali

Lateralus

Tantangan Industri Kelapa Sawit di Jambi Berbenah atau Tenggelam

Diperbarui: 3 Juli 2020   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pada saat ini ada kurang lebih 16 juta masyarakat Indonesia yang bergantung dengan industri kelapa sawit di Indonesia. Setiap tahunnya Indonesia memproduksi 4,6 juta ton minyak kelapa sawit 3,4 juta diantaranya diekspor,dan menjadikan Indonesia pemimpin di dunia dalam hal produksi minyak kelapa sawit. Kelapa sawit juga menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dan jumlah ini terus meningkat .

Di daerah saya sendiri yakni Jambi, kelapa sawit merupakan mata pencaharian sebagian masyarakat. Industri ini melibatkan banyak sekali masyarakat mulai pemilik lahan, buruh sampai sopir. Kurangnya sumber daya manusia yang baik, ketersedian lahan yang banyak, serta tingginya keuntungan membuat sebagian masyarakat Jambi tidak punya pilihan selain meneruskan usaha kelapa sawit. 

Saat ini terjadi pemboikotan dari Uni Eropa atau hilangnya pasar, biaya perawatan yang mahal serta kampanye negatif menjadi sebuah ancaman nyata  khususnya masyarakat Jambi, ini membuat harga menjadi turun namun biaya perawatan serta operasional tetap sama, dan menambah ketidakpastian bagi para petani akan masa depan kelapa sawit mereka.

Uni Eropa memutuskan bahwa komoditas kelapa sawit sebagai salah satu yang mengakibatkan terjadinya deforestasi, dan berencana mengurangi penggunan kelapa sawit dan pada 2030 tidak akan menggunakannya lagi. Ini disebabkan oleh adanya undang-undang dari Uni Eropa yang mendorong peningkatan energi terbarukan pada tahun 2030 menjadi 32 persen dan kelapa sawit dianggap sebagai energi yang tidak terbarukan.

Keputusan ini dianggap Indonesia sebagai sebuah ancaman terhadap perjanjian perdagangan bebas dunia. Padahal Kelapa sawit menyubang cukup besar terhadap perekonomian masyarakat Uni Eropa, banyak industri di Eropa yang  membutuhkan minyak sawit. Ada 117 ribu lapangan pekerjaan, penerimaan pajak 2,6 miliar euro serta pendapat 5,8 miliar euro setiap tahunnya bagi produk domestik bruto. Harusnya pemerintah dapat menggunakan data ini untuk menekan Uni Eropa karena industri mereka juga bergantung terhadap kelapa sawit.

Dengan berkurangnya ekspor kelapa sawit maka akan berperangaruh ke industri dunia. Dalam depedency theory atau teori ketergantungan, Indonesia dan Uni Eropa saling tergantung satu sama lain, dengan adanya kebijakan untuk membatasi kelapa sawit maka ekonomi kedua negara akan terpengaruh walaupun yang paling dirugikan tetap Indonesia.

Belum lagi dampak untuk negara lain, India, Tiongkok menjadi negara yang membutuhkan kelapa sawit sebagai pendukung industrinya. Adanya kebijakan pembatasan  membuat harga kelapa sawit menjadi turun dan berdampak pada ekspor yang akan dikurangi karena harga yang murah. Tentunya ini akan membuat Tiongkok dan India menjadi pihak yang dirugikan juga industri mereka akan terganggu.

Indonesia melakukan gugatan terhadap Uni Eropa dan berencana akan melakukan hal yang sama yakni menolak barang-barang yang berasal dari Uni Eropa. Menurut saya ini merupakan langkah yang salah karena hanya akan meningkatkan ketegaangan, di satu sisi memang ini menunjukan keberanian pemerintah Indonesia dengan berani melawan Uni Eropa, tapi ini juga membuat Uni Eropa semakin yakin dengan kebijakannya untuk memboikot kelapa sawit Indonesia dan pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat. 

Pemerintah berencana membuat tiga aturan yang melindungi industri kelapa sawit. Pertama, riset perkebunan nusantara kedua, rencana aksi sawit berkelanjutan ketiga, standar produk bagi kelapa sawit. Menurut saya kebijakan ini sangat bagus khususnya adanya standarisasi  lebih baik, yang berdampak pada penguatan harga kelapa sawit. Namun, implementasi dan dampak daripada kebijakan ini baru bisa dirasakan beberapa tahun lagi. Masyarakat dan perusahaan butuh kebijakan yang dampaknya dapat dirasakan untuk saat ini seperti kepastian akan kerjasama dengan Uni Eropa maupun penguatan kebijakan B30.

Kebijakan pemerintah dalam rangka menghilangkan sentimen negatif kelapa sawit saya lihat kurang efektif. Pemerintah harusnya terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan Uni Eropa melakukan lobi-lobi untuk membuat kesepakatan yang lebih menguntungkan Indonesia, Pemerintah bisa menawarkan kepada Uni Eropa kerjasama seperti mengurangi hambatan perdagangan, deregulasi, privatisasi dan lain sebagainnya untuk merubah kebijakan Uni Eropa. Bukan dengan cara langsung melakukan aksi balasan.

Untuk mengadapi kampanye negatif perlu adanya kerjasama dengan organisasi-organisasi lingkungan seperti Greenpeace untuk menyakinkan mereka bahwa tidak sepenuhnya benar Industri kelapa sawit itu buruk bagi lingkungan. Selanjutnya kampanye besar-besaran harus dilakukan agar dapat membangun opini masyarakat atau membuat konstruksi sosial bahwa kelapa sawit tidak sepenuhnya buruk, selama ini banyak masyarakat yange melihat industri kelapa sawit hanya dari satu sisi. Jalan terkahir pemerintah bisa memberikan tekanan bagi pihak-pihak didalam negeri yang melakukan protes terhadap industri ini, walaupun disatu sisi melanggar asas demokrasi namun ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan industri kelapa sawit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline