Lihat ke Halaman Asli

Pentingnya Literasi Digital dan Menangkal Informasi Influencer Penyebar Hoaks

Diperbarui: 22 Januari 2025   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital saat ini, informasi tersebar dengan sangat cepat melalui berbagai platform media sosial. Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar dapat dipercaya. Banyak Influencer yang memiliki jutaan pengikut justru menjadi penyebar hoaks, baik disengaja maupun tidak. Inilah mengapa literasi digital menjadi sangat penting dalam menghadapi fenomena ini. Mayoritas Influencer media sosial tidak memverifikasi informasi sebelum membagikannya kepada audiens mereka, sebuah studi tertentu menemukan, menggarisbawahi kekhawatiran bahwa beberapa tokoh online terbesar dapat secara tidak kritis menyebarkan klaim yang menyesatkan.

Daripada memverifikasi informasi, lebih dari 4 dari 10 Influencer mengatakan bahwa mereka mengevaluasi kredibilitas sumber berdasarkan "popularitas", jumlah like dan view yang diterima - sementara satu dari lima mengatakan bahwa teman tepercaya dan pakar adalah faktor paling umum dalam menentukan kredibilitas sumber online. Hanya 17% yang mengatakan bahwa dokumentasi dan bukti adalah faktor utama mereka dalam mengukur kredibilitas.

Padahal, meskipun sumber tersebut populer, belum tentu informasi yang disampaikan benar. Lantas, bagaimana jika informasi yang mereka sebarkan ternyata palsu? Sementara itu, konten tersebut telanjur dikonsumsi oleh ribuan hingga jutaan pengikut mereka di media sosial. Penyebarluasan konten yang belum teruji kebenarannya tentu dapat menjadi sumber masalah baru dan berpotensi merugikan masyarakat luas.

Sebuah laporan terbaru dari Pew Research Center menemukan bahwa hampir 40% anak muda Amerika Serikat berusia 18 hingga 29 tahun "secara teratur" mendapatkan berita dari para influencer, yang sebagian besar tidak pernah dipekerjakan oleh organisasi berita. Dan survei terpisah dari Pew menemukan bahwa lebih dari setengah orang dewasa Amerika "setidaknya kadang-kadang" mendapatkan berita dari media sosial.

"Namun, tidak seperti jurnalis yang sering kali dibekali dengan keterampilan dan alat untuk menilai kredibilitas sumber dan memverifikasi fakta, pembuat konten digital sering kali tidak memiliki pelatihan formal di bidang ini, yang dapat menyebabkan tantangan dalam memastikan keakuratan konten mereka," ujar UNESCO.

Influencer online umumnya tidak mengandalkan sumber informasi resmi, seperti laporan dan dokumen yang dikeluarkan pemerintah, demikian temuan studi UNESCO. Sekitar enam dari 10 Influencer mengandalkan pengalaman pribadi mereka sebagai sumber informasi, sementara hampir 40% menggunakan penelitian dan wawancara mereka sendiri dengan sumber-sumber yang berpengetahuan luas. Berita utama dan sumber online berada di urutan ketiga, masing-masing sebesar 37%.

Platform media sosial juga sebagian besar telah menghilangkan pagar pembatas untuk mencegah penyebaran informasi yang salah. X milik Elon Musk, misalnya, mengandalkan "Community Notes" untuk menangani informasi yang menyesatkan atau  salah, dan jarang sekali menghapus konten. Upaya platform ini sering kali disalahgunakan oleh Musk sendiri, yang telah memecat tim moderasi platform sejak memperoleh perusahaan tersebut pada tahun 2022 dan sering kali menggunakan akun pribadinya untuk mempromosikan informasi yang salah. 

Demikian pula, sementara YouTube melarang monetisasi video yang menyertakan klaim yang terbukti salah yang berisiko merusak kepercayaan pada proses pemilihan umum dan demokrasi, perusahaan milik Google ini masih mendapatkan keuntungan dari konten yang memperjuangkan misinformasi pemilu. Dan sedangkan Meta, induk dari Facebook dan Instagram, menjatuhkan hukuman kepada pengguna yang membagikan konten yang sudah diperiksa faktanya, platform ini tidak menghapus unggahan tersebut.

Banyak Influencer menggunakan popularitas mereka, untuk membangun kepercayaan dari para pengikutnya, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Tidak jarang, korban mengalami kerugian finansial yang besar karena mempercayai klaim tanpa dasar yang dibuat oleh Influencer yang tidak bertanggung jawab.

Masyarakat harus meningkatkan literasi digital mereka. Kemampuan berpikir kritis dalam mengonsumsi informasi menjadi sangat penting. Setiap informasi yang diterima harus dianalisis dengan skeptisisme sehat, diverifikasi dengan sumber yang kredibel, dan dibandingkan dengan berbagai perspektif lainnya. Teknologi juga menyediakan berbagai alat pengecekan fakta yang dapat digunakan untuk memverifikasi berita yang mencurigakan.Selain itu, masyarakat harus memahami bagaimana algoritma media sosial bekerja. Banyak platform menggunakan algoritma yang menyajikan konten berdasarkan preferensi pengguna, yang sering kali memperkuat bias yang sudah ada. Fenomena ini dikenal sebagai echo chamber, di mana seseorang hanya menerima informasi yang mendukung pandangan mereka, tanpa mendapatkan perspektif yang lebih luas. 

Kesadaran akan hal ini dapat membantu individu untuk lebih terbuka terhadap berbagai sumber informasi dan tidak terjebak dalam satu narasi saja. Namun, tanggung jawab tidak hanya berada pada individu. Influencer sendiri harus memiliki kesadaran etis dalam menyebarkan informasi. Mereka memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa setiap konten yang mereka buat berbasis pada fakta yang valid dan tidak menyesatkan publik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline