Lihat ke Halaman Asli

Ruwahan, Tradisi Membuat Ambeng Sarat Filosofi

Diperbarui: 20 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1402473405387790641

Warga sedang mempersiapkan Ambeng dan membuat adonan apem, ngebluk

Masyarakat Jawa acapkali sering mendengar kata Ruwah, sebuah bulan urutan ketujuh dalam kalender Jawa yang datangnya bersamaan dengan bulan Sya'ban di tahun Hijriyah. Ruwah memiliki akar bahasa 'arwah', kemudian dalam mitologi Jawa dijadikan bulan untuk mengenang serta mengirim doa kepada leluhur.

Demikian informasi tersebut disampaikan oleh Y. Slamet Suharjo penduduk Gedongkiwo yang menjadi narasumber kegiatan Sarasehan Nguri-uri budaya Sadranan/Ruwahan di Pendopo Cokrosenan.

Sejumlah sumber menyatakan Ruwahan dilakukan normalnya 10 hari sebelum bulan puasa. Awalnya acara dimulai dengan Nifsu Sya'ban, bersih-bersih rumah dan makam yang diiringi slametan kecil kemudian kenduri dimalam hari. Esoknya dilaksanakan Nyadran (nyekar dimakam) hingga berakhir padusan tepat menjelang bulan puasa.

Rangkaian acara Nguri-uri budaya Sadranan/Ruwahan diawali dengan wiwitan ngebluk (membuat adonan apem), macapat, sarasehan sadranan/ruwahan, klenengan, lomba kuliner membuat apem serta diakhiri kirab budaya. Secara khusus, menurut ketua penyelenggara, Andang Suprihadi, kegiatan lomba kuliner di spesifikasi pada makanan tradisional apem karena sesuai dengan tema ruwahan.

"Ruwah identik dengan apem, kami ingin mengedukasi masyarakat bagaimana cara membuat apem traisional namun dengan bahan-bahan yang benar," tukasnya.

Jika dilihat dari sudut pandang budaya, sadranan/ruwahan menurut anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogya, Kas Iman Sukarjo, aktivitas budaya tersebut selalu dikaitkan dengan ambeng ketan, kolak dan juga apem. Makanan tersebut sebenarnya sebuah simbol yang sebenarnya diambil dari bahasa Arab, khatakan kholaqa afuwun.

"Sebagai umat manusia, kita menyadari benar bahwa dalam waktu 1 tahun banyak kesalahan yang diperbuat baik secara vertikal maupun horizontal, setelah saling meminta maaf maka jiwa akan bersih sehingga tidak ada beban dalam melaksanakan ibadah puasa ramadhan," tukasnya siang ini pada Tim Gudegnet (11/06).

melalui pesta budaya yang dikemas sesuai perkembangan jaman tersebut, diharapkan dapat menjadi pemicu kaum muda agar tidak melupakan seni budaya tradisional yang telah mengakar semenjak nenek moyang. "Melestarikan budaya, mengirim doa serta selalu mengingat leluhur kita," pungkas Andang Suprihadi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline