Meja-meja yang ditutupi taplak biru muda, dengan renda-renda bunga tersusun rapih menjadi saksi-saksi bisu akan perjuangan keberlangsungan pendidikan seorang anak bangsa. Dua speaker bergetar tak berirama saat beberapa guru yang hadir dalam rapat kenaikan kelas bicara. Rapat yang dihadiri guru-guru mata pelajaran serta wali kelas ini menjadi penentu layak atau tidaknya seorang siswa untuk naik kelas.
Beberapa nama-nama bermunculan tertulis pada papan putih yang biasa digunakan untuk mengajar. Nama-nama tersebut merupakan siswa-siswa yang bermasalah dalam nilai, jumlah absensi serta sikap dan prilaku yang menjadi kriteria dalam penentuan kenaikan kelas.
Apa yang menjadi pertarungan argumen masing-masing kubu dengan argumen yang beralasan. Beberapa guru menginginkan agar anak tersebut tetap tidak naik kelas, karena berdampak kepada siswa lainnya yang bisa menyepelekan pelajaran dan kehadiran. Nilai yang didapatkanpun sudah dilalui proses yang matang dan prosedural. Namun guru-guru lain yang tidak sependapat, mencoba mengarahkan opini agar melihat dari sisi psikologis, dampak jika siswa tersebut tidak naik kelas.Dampak yang ditimbulkan seperti rasa malu, minder bahkan tidak semangat lagi untuk bersekolah menjadi perhatian para peserta rapat tersebut.
Dua pandangan yang berbeda inilah yang menjadi bahan perbincangan, dua argumen yang berbeda namun memiliki alasan kuat bisa memakan waktu cukup lama, Inilah reality Show yang menguras fikiran, waktu dan bahkan perasaan. tidak semua pendapat dapat disepakati bahkan bisa berakhir pemungutan suara. Perasaan sedih dan gagalpun tergambar beberapa guru saat vonis tidak naik kelas diketuk pimpinan rapat,.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H