Lihat ke Halaman Asli

G Tersiandini

Mantan guru di sekolah internasional

Gili Labak dan Air Terjun Toroan di Madura

Diperbarui: 25 Mei 2016   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nelayan sedang menjala ikan

Pernahkah Anda mengunjungi Madura? Pernahkan Anda mendengar tentang Gili Labak atau air terjun Toroan yang berada di Madura? Kedua tempat ini patut dikunjungi saat Anda berada di Madura dan memiliki cukup waktu.

Gili Labak adalah sebuah pulau kecil yang terletak di Sumenep dan dapat dicapai dengan perahu dari pelabuhan Kalianget. Sementara air terjuan Toroan terletak di Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang.

Pada akhir pekan di bulan Mei 2016, seorang teman mengajak saya untuk berkunjung ke Madura dan mengunjungi kedua tempat ini. Bersama dengan lima teman yang lain, kami pun berjanji untuk bertemu di Surabaya dan akan memulai perjalanan dari Surabaya.

Hari Jumat setelah pulang kantor, saya segera kembali ke rumah untuk mengambil barang-barang bawaan dan berganti pakaian. Dari situ saya segera pergi menuju bandara Halim Perdanakusuma untuk mengejar penerbangan pada jam 6:40 menuju Surabaya. Sesampai di Surabaya, kakak saya dan kedua temannya yang juga akan ikut ke Madura sudah menunggu di bandara Juanda. Dari sana kami segera mencari makan dan kemudian menuju hotel untuk beristirahat, karena keesokan harinya kami harus bangun pagi-pagi sekali. Sementara itu, tiga teman yang lain mengambil penerbangan pada malam hari dan tiba di Surabaya pada tengah malam. Mereka memutuskan untuk menunggu saja di bandara karena mobil sewaan akan menjemput mereka pada jam dua pagi.

Pada jam tiga pagi, ketiga teman tersebut datang menjemput kami di hotel. Kami pun segera berangkat ke Madura. Jalanan masih sepi karena memang masih sangat pagi. Dalam perjalanan kami sempatkan untuk berhenti sejenak untuk makan pagi karena perut sudah memanggil-manggil. Kami berhenti di satu-satunya kedai makan yang buka pada pagi itu. Setelah makan, perjalanan menuju Sumenep kami lanjutkan. Kami tiba di Sumenep pada sekitar jam 7:30.  Pemilik kapal yang akan membawa kami menyeberang sudah menunggu di depan pelabuhan Kalianget. Kami tidak langsung menyeberang, namun kami malah memutuskan untuk berkunjung ke rumah pemilik kapal karena terjadi kesalahpahaman tentang penginapan. Awalnya kami ingin menginap di Sumenep, tetapi ternyata pemilik kapal justru memesankan tempat untuk kami di Gili Labak.  Jadilah kami harus bermalam di Gili Labak.

Dari rumah pemilik kapal, kami kembai menuju pelabuhan untuk menyeberang ke Gili Labak. Setelah semua naik ke kapal, kapal pun segera meninggalkan pelabuhan menuju Gili Labak. Ombak yang tadinya biasa-biasa saja, lama kelamaan menjadi semakin besar dan seorang teman mengalami mabuk laut. Setelah sekitar 2 jam lebih, akhirnya kami tiba di Gili Labak.

Saat mendekati Gili Labak, saya melihat pulau dengan pasir putih dan di sana berjejer kapal-kapal nelayan yang bentuknya khas Madura. Air laut sangat jernih sehingga kita bisa melihat dasar laut dengan terumbu-terumbu karangnya. Ingin rasanya segera mencebur untuk melihatnya dari dekat. Banyak juga pengunjung yang snorkeling di situ.

Gili Labak dari kejauhan

Gili Labak

Menuju pantai Gili Labak

Pasir putih di Gili Labak dan perahu-perahu nelayan

Saat itu masih pagi, sekitar jam 9:45, namun matahari sudah tinggi, rasanya seperti jam satu siang. Saat turun dari perahu, kulit terasa perih terkena sinar matahari. Keinginan untuk segera mencebur ke air untuk snorkeling harus saya urungkan. Kami langsung menuju salah satu saung yang berdiri rapi di tepi pantai. Panasnya bukan kepalang, keringat pun mulai bercucuran membasahi tubuh dan baju. Kami lalu memesan air kelapa dari warung yang ada di belakang saung. Di saung itu kami juga menikmati makanan yang sudah dipesankan untuk kami oleh pemilik kapal. Menunya sederhana yaitu nasi, sayur dan kering tahu tempe. Walaupun demikian, tetapi rasanya tidak mengecewakan.

Usai makan, kami segera menuju rumah penduduk yang disediakan untuk kami. Di Gili Labak tidak ada hotel. Jadi jika ingin menginap, kita bisa menginap di rumah penduduk. Rumah yang kami tempati cukup besar dan memiliki tiga kamar, namun kamar-kamar tersebut tidak memiliki jendela, jadi panas sekali. Kami memilih untuk tidur di ruang tamu yang luas. Semua jendela dan pintu di rumah itu kami buka lebar-lebar agar angin dapat dengan leluasa keluar dan masuk.  Rumah itu tidak memiliki kamar mandi. Jika mau mandi, kita bisa mandi di belakang mushola atau di belakang rumah, tetapi di udara terbuka. Airnya harus ditimba dulu dari sumur dan airnya adalah air payau yang lengket di badan. Jika kita ingin air bersih, kita bisa membelinya dengan harga Rp. 10,000 satu jerigen. Jika ingin mandi di kamar mandi, kita bisa memakai kamar mandi di dekat pantai dan mambayar Rp. 2000 rupiah.

Setelah menyapu dan mengepel lantai, kami langsung menggelar alas yang sudah disediakan.  Kami semua langsung tiduran di lantai dan lama-lama terlelap dalam alam mimpi. Setelah beberapa saat, saya terbangun. Teman-teman yang lain masih tidur dengan lelap. Saya kemudian mengajak kakak saya yang juga sudah bangun untuk berjalan-jalan karena saya ingin melihat-lihat ada apa saja di pulau tersebut. Kami pun berjalan menuju pantai, dan suasana pantai saat itu relatif sepi. Rupanya sudah banyak pengunjung yang kembali ke Sumenep. Kami bertemu dengan beberapa nelayan yang sedang duduk di saung memperbaiki alat penangkap rajungan. Mereka menyarankan agar kami mengelilingi pulau pada sore hari karena saat itu panas sekali. Kami lalu duduk bersama mereka melihat para nelayan membuat perangkap rajungan sambil ‘ngobrol’.

Para nelayan sedang memperbaiki perangkap untuk menangkap rajungan

Dari cerita mereka, ternyata di pulau itu tidak ada anak-anak karena di situ tidak ada sekolah. Anak-anak mereka semua bersekolah di daerah lain dan tinggal di sana dengan salah satu keluarga mereka. Para nelayan itu juga mengatakan bahwa tidak ada guru yang mau bekerja di pulau itu. Dulu pernah ada guru namun tidak bertahan lama, padahal mereka diperlakukan secara istimewa oleh para penduduk. Karena guru itu pergi dan tidak kembali lagi, akhirnya mereka mengirim anak-anak mereka ke tempat lain untuk bersekolah. Itulah mengapa di pulau itu tidak nampak ada anak-anak bermain-main di pantai atau di dekat rumah.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline