Lihat ke Halaman Asli

G Tersiandini

Mantan guru di sekolah internasional

Berlibur Sejenak di Malaka

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14061898221412981221

Melaka, kota kecil di Malaysia bagian barat ternyata memiliki pesona yang lain dibandingkan dengan kota-kota lain yang ada di negara tersebut. Sayangnya tidak ada penerbangan dari Jakarta langsung ke Malaka, jadi jika hendak ke sana kita harus lebih dulu menuju Kuala Lumpur, Singapura atau Johor Bahru. Dari sana kita bisa naik bus atau menyewa mobil menuju Malaka.

Ketika itu penulis memilih rute Jakarta - Kuala Lumpur – Melaka – Kuala Lumpur – Jakarta. Penulis menginap dulu dua malam di Kuala Lumpur, kemudian pergi dengan mengendarai bus menuju Malaka. Sebelumya, dari penginapan yang terletak di dekat kawasan Bukit Bintang, kami naik LRT menuju Terminal Bersepadu Selatan (TBS), untuk mencari bus menuju Melaka. Terminal ini besar, bagus, teratur dan tertata rapi. Di situ berjajar loket-loket penjualan tiket untuk beberapa perusahaan bus yang akan membawa kami ke Melaka. Kami pun membeli tiket dari satu perusahaan bus dan harganya pun tidak begitu mahal.

Sambil menunggu keberangkatan, kami sempatkan untuk berjalan-jalan di terminal tersebut. Di sana terdapat beberapa rumah makan, juga toko-toko cendera mata. Mendekati saat keberangkatan, kami menuju ruang tunggu. Ruang tunggunya nyaman, mirip seperti di bandara. Tak lama berada di ruang tunggu, kami pun mendengar pengumuman bahwa kami harus segera menaiki bus yang akan berangkat ke Malaka. Kami pun naik ke bus tersebut. Busnya ternyata tidak begitu bagus, tetapi cukup bersih dan nyaman.

Tepat pada jam keberangkatan, bus pun meninggalkan terminal menuju Melaka. Kami melewati jalan bebas hambatan. Terbiasa mengendarai bus yang cepat dan sering ugal-ugalan di Indonesia, jalan bus ini terasa sangat pelan. Namun memang begitulah aturannya, mereka harus mengemudikan bus dengan kecepatan tertentu dan tidak boleh melebihi limit yang sudah ditentukan.

Akhirnya sekitar kurang lebih dua jam-an sampailah kami di Melaka. Berbeda dengan terminal bus yang ada di Kuala Lumpur, terminal bus yang ada di Melaka tidak sebesar terminal TBS, namun jauh lebih baik dari terminal-terminal yang ada di negara kita. Sampai di terminal kami langsung mencari taksi untuk menuju hotel. Taksi yang ada tidak sebagus taksi Blue Bird di Jakarta dan kami harus membeli tiketnya di terminal.

Untuk penginapan, kami memilih untuk tinggal di kota tua di sebuah boutique hotel di sekitar kawasan Jonker Street di Malaka. Jonker Street merupakan daerah yang disukai oleh para turis asing karena di sini banyak terdapat tempat makan dan juga tempat wisata. Hotel yang kami pilih kelihatan kecil dari depan, namun begitu masuk, ternyata cukup luas. Kamarnya cukup besar dan sarapan yang disediakannya pun beraneka ragam dan enak rasanya. Lokasi hotel ini pun strategis, dekat dengan tempat makan, toko-toko dan tempat-tempat wisata. Untuk mencapai “landmark” kota Malaka, yaitu Christ Church of Melaka (gereja peninggalan Belanda) yang berwarna jingga, kira-kira sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. “Door man” yang bekerja di situ pun amat sangat ramah dan baik kepada kami. Mereka sangat membantu.

Siang itu setelah menaruh barang-barang di kamar, kami keluar hotel untuk mencari makan. Di dekat hotel berdiri beberapa restoran. Di seberang hotel, terdapat sebuah rumah makan peranakan, namun ketika kami ke sana, rumah makan tersebut tutup untuk beberapa hari dan akan buka lagi saat kami harus kembali ke Kuala Lumpur. Ah sial, padahal dari menu yang tersedia di luar, kelihatannya makanan yang disajikan restoran itu enak. Kecewa juga karena tidak bisa mencicipi makanan di restoran itu. Kami pun pergi mencari tempat makan lain, dan tidak jauh dari situ di seberang jalan terdapat sebuah rumah makan kecil dan di situ disediakan makanan peranakan.

Atas saran dari pemilik rumah makan itu kami pun memesan ikan dan terong nyonya. Kami juga memesan cendol dengan gula Melaka. Penulis pada dasarnya tidak menyukai es cendol karena penulis tidak menyukai santan maupun makanan bersantan, namun pada hari itu penulis ingin mencobanya tapi tanpa santan. Pemilik toko merasa aneh, dia menyakinkan penulis untuk mencobanya dengan menggunakan santan, dengan amat berat hati akhirnya penulis setuju, dengan syarat santannya harus sangat sedikit. Anehnya penulis tidak seperti biasanya penulis tidak sakit perut setelah mengkonsumsi santan. Mungkin karena jumlahnya tidak banyak.

Selesai makan, kami meneruskan perjalanan. Kami hanya ingin berjalan berkeliling saja dan di perempatan kami menemukan sebuah bagunan kuno yang atapnya mirip atap rumah Jawa. Ternyata bangunan tersebut adalah sebuah masjid yang dapat dilihat dari menaranya. Nama masjid tersebut adalah Masjid Kampung Hulu, dan ternyata ini merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia. Kami pun masuk ke kawasan masjid tersebut.

[caption id="attachment_349490" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Kampung Hulu"][/caption]

[caption id="attachment_349491" align="aligncenter" width="300" caption="Interior Masjid"]

1406189909725409081

[/caption]

Keluar dari masjid tersebut kami memutuskan untuk mengambil jalan ke kiri dan tidak ke kanan ke arah sungai atau Christ Church of Melaka. Kami berjalan terus sampai menemukan sebuah kuil yang bernama Cheng Hoon Teng temple. Kami pun memasuki kuil itu.

[caption id="attachment_349492" align="aligncenter" width="300" caption="Kuil Ceng Hoon Teng"]

1406190119850811427

[/caption]

Saat sedang melihat-lihat kuil, seseorang mendekati kami dan mulai menerangkan ini itu kepada kami. Aduh, pemandu lepasan rupanya dia. Dia mengajak kami masuk ke dalam dan melihat-lihat kuil tersebut. Memaksa kami untuk mengambil foto. Kami berusaha menjauh dari dia, namun dia terus mengikuti kami.

Keluar dari kuil, kami menyeberangi jalan dan melihat bangunan bergaya Melayu yang ada di seberang kuil tersebut. Ternyata bapak tadi terus mengikuti kami dan mengajak berbincang. Dia bahkan mengajak kami mengunjungi rumahnya. Ternyata rumahnya terletak di sebuah jalan kecil di seberang kuil dan nama kampungnya adalah Kampung Ketek. Geli kami ketika melihat nama kampung tersebut.

[caption id="attachment_349494" align="aligncenter" width="300" caption="Gapura Kampung Ketek"]

1406190288923023557

[/caption]

Kami pun akhirnya mengikuti bapak tadi menuju rumahnya yang ternyata juga digunakan sebagai tempat penginapan. Di belakang rumahnya terdapat rumah dan makam Abdullah bin Abdul Kadir Munshi, seorang pujangga Melayu yang terkenal. Kami pun mengunjungi makam itu. Seperti ketika sedang berada di kuil, si bapak ini memaksa agar kami berpose di makam itu. Ya sudah, toh tidak ada salahnya membuat orang lain merasa senang.

[caption id="attachment_349495" align="aligncenter" width="300" caption="Rumah Abdullah bin Abdul Kadir Munshi"]

14061903521736681868

[/caption]

Dari makam, kami diantar ke mulut jalan. Saat kami tanyakan berapa kami harus membayarnya karena sudah mengantar kami, dia mengatakan “tak payah lah, awak kasih saja uang Indonesia”. Untungnya kami masih punya uang rupiah di dalam dompet, dan kami berikanlah uang tersebut kepadanya.

Dari sana kami berjalan menuju Christ Church of Melaka. Kemudian menuju Museum sejarah dan etnography. Sambil melihat-lihat kami berjalan naik lagi menuju St Paul’s Hill. Di bukit tersebut terdapat gereja St Paul. Di dalam gereja yang dinding dan menaranya masih berdiri itu terdapat bekas kuburan Francis Xavier. Dari tempat reruntuhan gereja tersebut, kita dapat menikmati pemandangan kota Melaka dari atas bukit. Tak jauh dari gereja terdapat sisa-sisa benteng A Famosa.

[caption id="attachment_349496" align="aligncenter" width="300" caption="Dutch Square"]

14061904921807665509

[/caption]

1406190902680869255

[caption id="attachment_349503" align="aligncenter" width="300" caption="Sisa Gereja St. Paul"]

1406190985938738639

[/caption]

[caption id="attachment_349504" align="aligncenter" width="300" caption="Sisa benteng Portugis"]

1406191064693931211

[/caption]

Setelah puas menikmati pemandangan yang disuguhkan kami kemudian berjalan turun. Kami tidak turun ke kawasan museum di dekat Dutch Square, namun kami turun di bagian lain, yaitu di Porta de Santiago. Dari sana kami berjalan menuju Dutch Square. Dalam perjalanan kami mampir dahulu di sebuah taman dimana terdapat gerbong kereta api tua dan pesawat terbang. Dari situ kami kemudian berjalan menuju tepi sungai Melaka. Kami berjalan terus menyusuri sungai yang mengalir di tengah kota sambil menikmati udara sore hari. Sungai ini sangat terawat dan bersih. Saat malam tiba lampu-lampu pun mulai dinyalakan dan pemandangan di sepanjang sungai terlihat indah. Mengingat hari sudah semakin gelap, kami kemudian kembali ke hotel dengan mengendarai becak-becak yang dihiasi dengan bunga-bunga.

Keesokan harinya, setelah sarapan di hotel, kami berjalan menuju Dutch Square. Di depan Christ Church Melaka berjejer becak-becak yang dihiasi bunga-bunga dan di sampingnya berjejer kios-kios yang menjajakan cendera mata. Saat kami tiba di sana kios-kios tersebut masih banyak yang tutup, karena masih pagi. Kami pun kemudian berjalan menuju gereja St Francis Xavier Church.Ketika berada di kompleks gereja tersebut, karena terlalu banyak minum, penulis minta izin untuk menggunakan kamar kecil kepada seorang petugas yang ada di sana. Petugas itu dengan ramah mengantar penulis ke sebuah kamar kecil yang berada di kantor gereja, padahal di luar sebenarnya terdapat sebuah kamar kecil. Namun entah mengapa dia justru membawa penulis ke kantor gereja tersebut.

[caption id="attachment_349505" align="aligncenter" width="300" caption="Becak berwarna warni di Dutch Square"]

1406191207162038771

[/caption]
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline