Seperti halnya ajang kontestasi, para kandidat gubernur, bupati, dan walikota tak bisa masuk ke gelanggang tanpa dipoles. Mereka mesti dipatut-patut atau didandani agar terlihat prima dan meyakinkan. Polesan tersebut sebaiknya natural, mengedepankan keunikan, keunggulan, dan sisi positif. Agar saat tampil, ia terlihat natural, membuat calon pemilih kesengsem.
Branding adalah mem-brand calon agar dipersepsikan baik dan positif. Mem-branding kandidat ini sebenarnya seperti mem-branding produk atau jasa. Bedanya, kali ini adalah sosok seseorang. Tim kampanye, mesti bisa memposisikan calon secara tepat. Sesuai karakter dasarnya: semisal cekatan, inovatif, kreatif, merakyat, tegas, mengayomi, problem solver, dsb.
Selain sifat-sifat tersebut, sosok luarnya juga wajib dipoles. Mulai dari cara berpakaian, cara berkomunikasi, berbicara, dan atribut-atribut kasat mata lainnya. Pada akhirnya, hasil branding tersebut, masyarakatlah yang akan menilai. Muncul sebagai persepsi di benak para calon pemilih.
Calon juga wajib menyampaikan pesan kampanye lewat berbagai media, offline maupun online. Bentuknya tak semata tulisan. Tapi juga foto, video, audio.
Sejauh ini gaya penyampaian story telling dianggap efektif, lantaran bisa menyentuh perasaan. Memunculkan rasa senang, haru, simpati, dsb. Story telling berangkat dari kenyataan, bahwa semua orang suka dengan cerita. Ini membangkitkan memori masa kanak-kanak.
Didunia digital, nyaris postingan menggunakan gaya berceritera. Videoclip dengan view terbanyak menggunakan gaya berceritera. Lagu tak sekadar dinyanyikan, tapi dilatarbelakangi dengan video bercerita.
Singkat kata, branding dan story telling membuat, calon lebih banyak dilirik. Sebuah kampanye soft yang efektif.
Tertarik dengan narasi dan story telling ikuti saya di IG @gabrielsujayanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H