Lihat ke Halaman Asli

Tiga Kekhasan Media Digital Versus Tiga Tabu Media Cetak

Diperbarui: 30 September 2015   23:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi | Foto: www.bostonmagazine.com"][/caption]Di tengah pusaran banjir informasi di media digital maupun di media sosial muncul keluhan  sebagian orang, soal  kurangnya kedalaman berita. Banyak berita hanya menyentuh permukaan. Memberitakan yang tersurat bukan yang tersirat.

Fakta di atas lantas dianggap sebagai ciri pertama media digital, yakni – cuma menyuguhkan  apa – kapan – dan dimana pada berita yang diunggah. Aspek mengapanya, apalagi bagaimana terlewatkan.

Coba simak berita di media digital. Ketika Rizal Ramli mengatakan: “Mereka yang menghambat akan saya kepret,”, sepenggal kalimat tersebut langsung menjadi top news  menghiasi berita di media-media online dalam hitungan jam. Agar tidak terlalu pendek redaksi menambahkan berita tersebut dengan cerita tentang langkah-langkah dan komentar yang memang kontroversial sejak jadi aktivis.

Ciri kedua berita di media digital adalah pengulangan. Satu berita baru digabung dengan berita lama. Berita baru ini porsinya jauh lebih sedikit dengan berita lama. Berita lama diunggah kembali untuk mengingatkan kembali atas  kejadian atau peristiwa. Ketika pelaku pembunuhan atas  seorang tukang parkir tertangkap di sebuah mal, maka berita tersebut diunggah ditambah dengan berita lengkap sebelumnya bahwa ada seorang tukang parkir terbunuh di sebuah pusat perbelanjaan.

Ciri ke tiga media digital adalah tingginya frekuensi  menguggah artikel atau berita. Satu isu  hangat, pernyataan yang dianggap menohok, Kapolri yang tampak tergesa-gesa berjalan ke istana,  sudah bisa diangkat sebagai topik yang seksi.

Kalau ditelisik media digital memang menampilkan karakter yang berseberangan dengan media mainstream (media cetak). Kecepatan menjadi motor utama di media digital. Prinsipnya, ketimbang keduluan, unggah dulu. Kalau kurang lengkap bisa ditambah di berita berikutnya. Barangkali apa yang dilakukan untuk memuaskan pembaca digital media yang ingin serba cepat dengan men-scanning judul yang menohok. Lantaran mengedepankan kecepatan, konon awak redaksi  media digital diwajibkan merampungkan  30 tulisan per harinya.

Apalagi ada anggapan, kurangnya update atas sebuah situs membuat sebuah situs  tersebut ditinggalkan  pembacanya. Bahkan, situs ini terancam dijauhi mesin pencarian. Search Engine Optimazion (SEO) mensyaratkan situs  sehat adalah situs yang kerap di update. Jadi kalau Anda punya situs, dengan akhiran  com, wordpress, blogspot atau yang lain sering-seringlah di update. Karena membuka peluang  situs Anda terpampang di papan atas situs pencarian. Semakin situs Anda berada di nomor-nomor awal, tentu memperbesar kemungkinan situs Anda di klik. Selain itu situs Anda juga mesti punya materi orisinil (hindari copy paste tulisan orang), dan mesti memakai tata bahasa yang baik.

Temukan sudut pandang

Tiga ciri yang ada di media digital tersebut ditabukan di media cetak. Di print media ini, berita tak hanya mengabarkan apa, kapan, dan dimana, tapi wajib menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana. Sebuah berita tidak tampil telanjang, tapi diberi konteks dan sudut pandang. Dalam kasus Gayus Tambunan yang kedapatan makan siang di sebuah resto di Jakarta Selatan, media cetak mesti menemukan sudut pandang. Misalnya: Kenapa bisa Si Gayus yang pernah raib hingga Bali, kembali kabur meski “hanya” makan siang? Siapa yang harus bertanggungjawab? (Penulis menelisik oknum yang memberi izin keluar penjara dan petugas yang memberi keleluasaan Gayus makan siang). Atau sudut pandang  lain. Mengapa Gayus bisa leluasa makan siang di luar penjara? (Penulis harus menemukan motif Gayus dan petugas yang meloloskannya).

Tabu kedua di media cetak adalah pengulangan. Berita yang sudah pernah terbit, tidak akan dimunculkan lagi karena dianggap basi. Mengulang berita dianggap tidak etis dan membodohi pembaca. Pengulangan mencerminkan ketidaksigapan wartawan dalam menelisik berita. Media cetak yang kerap mengulang berita dianggap tidak kredibel. Memang untuk berita-berita yang masih berhubungan kadang ada sedikit pengulangan. Tapi sifatnya hanya mengingatkan dan itu biasanya ditempatkan pada bagian akhir sebuah berita. Ketika pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi September  II, maka berita tersebut muncul sebagai berita yang cukup panjang, lengkap dengan rinciannya. Di akhir berita tersebut diingatkan bahwa pemerintah sebelumnya juga telah melansir Paket Ekonomi September I.

Ciri ketiga media cetak adalah kemunculan berita didasarkan atas periode terbit. Harian, Mingguan, Bulanan, dsb. Karena periode terbit yang relatif lebih panjang dibandingkan dengan media digital, maka wartawan harus menggali berita lebih dalam dan lengkap. Dalam berarti berita tersebut harus menukik jauh menembus permukaan untuk menemukan apa yang tersirat. Ketika bencana asap menutupi sebagian Kalimantan dan Sumatera, wartawan yang tekun harus mencari tahu, bagaimana hal itu terjadi dan mengapa muncul setiap tahun?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline