Lihat ke Halaman Asli

Cipta Aning Gusti

Mahasiswa Universitas Airlangga

Menyoal Program Sastra Masuk Kurikulum

Diperbarui: 21 Juni 2024   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Program "Sastra Masuk Kurikulum" merupakan bagian dari Episode Merdeka Belajar yang ke-15: Kurikulum Merdeka dan Platform Kurikulum. Salah satu tujuan dari Kurikulum Merdeka, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 adalah untuk menguatkan kompetensi dan budaya membaca.

Untuk mendukung program ini, pada laman SIBI (Sistem Informasi Perbukuan Indonesia) tercantum Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra. Namun, saat ini buku tersebut tidak dapat diakses lagi melalui laman resminya setelah kedapatan menyimpan persoalan serius yang melingkupinya. Buku panduan yang tebalnya 784 halaman ini nampak seperti dibuat dengan terburu-buru sehingga hasilnyapun terlihat agak kacau, kesalahan penulisan ada di mana mana.

Lebih lanjut, dalam buku panduan tersebut tertulis lengkap rekomendasi buku sastra mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA. Ada 43 judul buku yang ditawarkan untuk jenjang SD/MI, 29 judul buku untuk jenjang SMP/MTs, dan 105 judul buku untuk jenjang SMA/SMK/MA/MAK. Berkedok rekomendasi buku sastra, Kemendikbud justru membatasi dan mengarahkan selera bacaan anak-anak, padahal seharusnya setiap anak berhak memilih buku cerita kesukaannya. Terlebih lagi di era digitalisasi ini jenis bacaan semakin beragam.

Persoalan lain, lebih dari separuh buku sastra untuk jenjang SD/MI yang memuat gambaran cerita dengan penafian yang tidak pantas dibaca anak-anak SD/MI. Dari 43 buku sastra, setidaknya ada 29 buku yang memuat penafian, seperti kekerasan verbal, kekerasan fisik, seksualitas, menyinggung etnis tertentu, dan ada satu buku yang mengandung unsur LGBTQ+.

Sebenarnya, pada setiap buku sastra yang ditawarkan dalam buku panduan sudah diijelaskan beberapa hal, seperti 1) identitas buku; 2) gambaran singkat; (3) penafian/disclaimer secara umum; 4) catatan penafian/disclaimer secara detail; 5) panduan penggunaan buku yang memuat panduan penggunaan secara umum dan panduan penggunaan secara khusus bagi pendidik; 6) keterkaitan dengan mata pelajaran.

Sebagai contoh, cerita anak berjudul Na Willa: Willa yang dalam buku panduan tertulis dengan jelas bahwa buku ini mengandung penafian unsur LGBTQ+, seksualitas, menyinggung SARA, kekerasan fisik dan kekerasan verbal seperti yang ditunjukkan pada penggalan cerita berikut.

"Kalau begitu aku mau jadi anak laki-laki saja."

"Ora iso! Wedhok, yo wedhok!" (hal 10).

"Kamu bukan Cino! Kamu ireng. Matamu tidak sipit, tidak begini. Lalu ia menarik ujung matanya." (hal 37)

"Dia pasti berteriak Asu Cino." (hal 26).

"Tangannya mau memukul tapi kuinjak saja." (hal 26).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline