Dalam kehidupan sosial, terdapat apa yang disebut sebagai norma. Norma, menurut KBBI, adalah "aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam Masyarakat yang dipakai sebagai panduan dan tatanan, serta pengendali tingkah laku yang sesuai." Norma ini dapat bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai contoh, ketika bertemu dengan keluarga besar dalam sebuah acara, kita mungkin diminta untuk memberi salam kepada yang lebih tua. Atau ketika menaiki bus, memberikan tempat duduk kepada seseorang yang tampak membutuhkan adalah contoh norma tidak tertulis. Etika dan sopan santun dalam kehidupan sosial seringkali tidak diatur oleh aturan tertulis, melainkan dipengaruhi oleh didikan orang tua, guru, atau bahkan dipelajari secara mandiri tanpa disadari. Sebagai perbandingan, norma tertulis dapat ditemukan dalam undang-undang di Indonesia, baik di dalam rumah, di lingkup sekolah, kompleks pemukiman, atau pun tingkat nasional.
Norma juga dapat merujuk pada panduan atau pengendali tingkah laku dan moralitas, dalam Agama Buddha sendiri kita juga memiliki panduan tersebut yang disebut sebagai Sla. Ada lima prinsip umum yang dikenal sebagai Pancasila, khususnya untuk kehidupan perumah tangga (awam). Pancasila sering dibaca dalam upacara keagamaan Buddha, dan pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana kita melatihnya?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk mengetahui mengapa melatih Sla diperlukan. Seperti halnya sutta dalam paritta, semuanya merujuk pada tipitaka. Buddha, dalam AN 8.39: Abhisanda Sutta, menyebutkan delapan aliran kebajikan yang bermanfaat dan dapat mengarahkan pada keinginan, kesukaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Lima dari delapan aliran tersebut merupakan prinsip Pancasila. Dari kutipan sutta tersebut, kita dapat memahami bahwa Buddha telah secara tidak langsung menunjukkan hasil dari melatih Sla. Dalam Dhammapada 303, Buddha juga menyatakan, "Bagi orang yang memiliki keyakinan dan Sla yang sempurna, akan memperoleh nama harum dan kekayaan, pergi ke mana pun, ia akan selalu dihormati."
Selain mendengar manfaat melatih Sla, kita juga perlu mempertimbangkan perspektif baru. Artikel ini mencoba untuk memberikan sudut pandang baru dengan menekankan minimalisme, atau "Bare-minimum." Dalam DN 16: Mahparinibbna Sutta, Buddha tidak hanya menjelaskan manfaat melatih Sla, tetapi juga menguraikan bahaya ketika kita tidak melakukannya. Ini termasuk kehilangan harta, reputasi buruk, rasa malu, dan bahkan kelahiran di alam yang kurang baik setelah meninggal dunia.
Mengapa kita melatih Sla bukan hanya tentang apa yang akan kita dapatkan, tetapi juga tentang menghindari konsekuensi buruk yang mungkin terjadi. Terkadang, fokus dan motivasi dapat hilang jika kita hanya memikirkan hasil positif tanpa menyadari risiko kerugian bila kita gagal. Oleh karena itu, artikel ini mengajak pembaca untuk lebih sadar akan pentingnya melatih Sla dan menyadari konsekuensi negatif yang dapat dihindari melalui praktik ini.
Selanjutnya, artikel membahas bagaimana melatih Sla. Latihan ini membutuhkan ketekunan dan harus dilakukan setiap hari tanpa batasan waktu tertentu. Bahkan Buddha sendiri, sebelum mencapai pencerahan, terus-menerus melatih Sla dalam setiap kehidupannya. Satu catatan penting, dalam kisah dibalik dhammapada 246 Buddha mengatakan "Engkau tidak boleh menganggap suatu sila itu mudah atau tidak penting. Setiap sila harus dijalankan dengan tetap. Jangan menganggap ringan sila yang manapun; tidak ada sila yang mudah dijalankan." Artinya, berlatih sila tidak boleh memilih, ke-5 sila umat perumah tangga, harus dipraktikan semua harus dilatih dan disempurnakan. Penting untuk diingat bahwa setiap prinsip Pancasila untuk umat berkeluarga harus diterapkan dengan serius. Kesalahan mungkin terjadi, tetapi mengingat kembali pentingnya melatih Sla melalui pengingat diri dan melakukan puja bakti rutin dapat membantu menjaga fokus dan motivasi.
Mari bersama-sama melatih Sla bukan hanya untuk mendapatkan kebaikan, tetapi juga untuk menghindari konsekuensi buruk yang mungkin timbul. Latihlah Sla setiap hari hingga menjadi landasan dalam diri kita.
**
Jakarta, 28 Januari 2024
Penulis: Sumarco, Kompasianer Mettasik
"Jangan Lupa Tersenyum"