Setiap tahun pada tanggal 22 Desember, yang biasa diperingati sebagai Hari Ibu, warga Tionghoa juga memperingatinya sebagai hari Sembahyang Ronde. Makna dari hari raya tradisi ini adalah mengungkapkan rasa Syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkah karunia yang besar bagi umat-Nya.
Mengapa Ronde?
Ronde atau biasa juga disebut dengan Onde adalah sejenis kue yang dibuat dari bahan tepung ketan, lalu dibentuk bulat beraneka warna. Umumnya putih, merah, dan hijau. Begitu pula ukurannya, ada yang besar, kecil, dan sedang tergantung selera si pembuat. Adapun isinya juga bermacam-macam. Ada gula merah, ada cairan gula, ada sirup, dan di zaman kini variasinya semakin banyak.
Umat Buddha, Umat Tridharma Indonesia, melakukan ritual ini pada pagi hari sebagai wujud usaha benar dalam menyampaikan rasa syukur secara Vertikal (kepada Tuhan, Alam, Pencipta) dan Horizontal (kepada Sesama) di akhir tahun.
Ritual dilakukan berdasarkan tradisi. Namun, penghayatan dan pengamalan Buddha Dhamma menjadi sangat penting. Bukan hanya rasa bersyukur atas apa yang telah dicapai, tetapi juga meningkatkan pemahaman spiritual, menghayati ajaran-ajaran kebaikan yang sudah kita laksanakan dalam kurun waktu setahun terakhir.
Semuanya dalam makna filosofis terhadap wujud dari ronde.
Bagi orang Tionghoa, ronde yang berbentuk bulat dianggap sebagai simbol keutuhan, genap, bersatu, tidak terpecah-pecah. Makna filosofis ini tentunya sejalan dengan harapan yang baik, bahwa seyogyanya sebagai manusia kita harus menjaga keutuhan, mengembangkan rasa kebersamaan, menghargai satu sama lainnya.
Dengan demikian, kedamaian akan terciptakan. hidup yang sehat, tenang, dan bahagia akan terpenuhi. Baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun dalam cakupan yang lebih luas lagi, sebagai sebuah bangsa bernegara.
Lalu warna-warni ronde pun memiliki makna. Putih memiliki makna suci. Kemudian ada juga biru (bakti), kuning (bijaksana), merah (cinta kasih), hingga jingga yang berarti semangat. Warna-warni ini juga bisa diasosiasikan dengan warna aura yang keluar dari tubuh Sang Hyang Buddha.
Tentu saja dalam penghayatan spiritual, sebagai umat Buddhis yang baik, kita harus senantiasa mempraktikkan Pancasila Buddhis, yakni tidak melanggar norma, kaidah tatanan dimasyarakat. Tidak membunuh, menyakiti makhluk lain, bermata pencaharian benar, tidak berdagang senjata, makhluk hidup hasil pembunuhan, racun, berjudi.