Suatu hari ketika aku berangkat kerja dengan menggunakan motor matic yang biasa aku pakai, tiba-tiba saja ada seorang bapa-bapa menyalip motorku dan aku pun terjatuh.
Akupun berusaha bangun dan kulihat motorku tergores sedikit oleh senggolan motor bapa tersebut.
Bapa itu juga terjatuh, lalu dia pun bangun dan meminta maaf kepadaku. Semula aku begitu ingin marah kepada bapa tersebut, tetapi kulihat wajah dan pakaian yang dikenakan bapa itu begitu lusuh. Terbersit rasa kasihan dan kemudian kujawab tidak apa-apa pak.
Kubiarkan bapa tersebut berlalu dengan motor tuanya. Kupandangi luka di kakiku dan beberapa goresan-goresan di badan samping motorku.
Walaupun terasa sakit dan pedih di kakiku, akhirnya kulanjutkan perjalananku untuk ke kantor.
Teman-teman bertanya kenapa aku jalan terpincang- pincang dan motor pun tergores. Padahal motor itu belum lama aku beli.
Akupun menjawabnya, ada seorang bapa yang belok menyerempet motorku dari samping sehingga aku terjatuh. Setiap kali ada orang yang bertanya knapa motorku tergores? Selalu kujawab ada seorang bapa yang belok ke kanan menyerempet motorku. Lalu itu terus jawaban yang sama yang selalu aku ucapkan setiap kali orang bertanya.
Lebih dari satu minggu, satu bulan bahkan sudah setahun yang lalu, jawaban yang sama selalu aku berikan ketika orang bertanya.
Begitulah yang terjadi dalam kehidupan kita, kita sering menyalahkan orang lain terhadap hati kita yang terluka. Padahal kejadiannya sudah berlangsung lama. Inilah kesalahan terbesar dalam hidup, mengapa kita selalu menyimpan luka dan tidak membereskannya semua masalah tersebut dan segera melupakannya.
Sebenarnya bukan perbuatan orang lain yang menyakiti kita, tetapi kesalahan diri kita sendiri yang terlalu menyimpan dan menikmati luka tersebut.