Lampu lalu-lintas, kalau lampu merah yang menyala, sesuai tertib lalu lintas, pengendara seharusnya berhenti. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Menerobos lampu merah, ketika pertama kali dilakukan, rasa was-was muncul. Toleh kiri, toleh kanan mungkin lima kali, waktu jam 11 malam tentu jalan sepi. Akhirnya keraguan hilang, lampu merah dilanggar.
Hari selanjutnya, sudah yakin menerobos lampu merah bukanlah hal yang harus dikhawatirkan, tapi belum yakin, masih toleh kiri, toleh kanan, tiga kali akhirnya lampu merah diterobos.
Hari berikutnya lagi, sudah agak yakin menerobos lampu merah bukanlah suatu yang harus dipatuhi, hanya memperlambat kendaraan sejenak toleh kanan kiri sekali saja dan lampu merah diterobos.
Berikutnya, tidak ada keraguan sama sekali, sudah yakin kalau lampu merah bukanlah yang harus dipatuhi, melanggarnya, menerobosnya tidak ada konsekuensi apapun. Sudah dibuktikan berkali-kali tidak ada konsekuensi sama sekali, tidak ada hukuman sama sekali.
Suatu ketika, saat tidak memperhatikan lampu lalu lintas, kecelakaan dapat terjadi, bahkan kematian dapat tak terelakan. Patuh pada aturan saja kematian terjadi apalagi jika tidak patuh.
Menerobos lampu merah adalah bagian dari melunturkan kehormatan diri, integritas diri. Seseorang yang terhormat, memiliki integritas, melakukan yang pantas ketika ada orang yang melihat, bahkan ketika tidak ada orang yang melihat pun hal yang pantas tetap dilakukan.
Lunturnya sebuah keyakinan harus melakukan perbuatan yang pantas dilakukan (walaupun kecil), perlahan-lahan akan menggerus keyakinan harus melakukan hal yang pantas lainnya. Pada akhirnya hal yang pantas dilakukan akan diabaikan dan kehormatan diri secara perlahan juga akan tergerus.
Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan berkata: "Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat.". Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang jatuh setetes demi setetes, demikian juga orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi dirinya dengan kejahatan" (Dhammapada 121).
**