Makna Kegigihan
Kegigihan merupakan satu modal awal seseorang untuk berusaha hingga tercapainya tujuan utama. Dalam Pustaka Suci, kegigihan biasa disebut sebagai viriya, tetapi juga memiliki beberapa padanan kata yang lainnya, seperti: vayama, padhana, atapi, atau ussaha. Akan tetapi, apakah kita sudah memahami makna kegigihan sesungguhnya? Terkhusus yang sesuai dengan Dhamma Sang Buddha. Bersebab, pemahaman yang salah berpotensi memunculkan praktik yang keliru.
Dalam Ambatthasuttavannana, tercatat bahwa istilah viriya digunakan untuk menjelasakan sebab atau sifat dasar seorang pendekar (virakaranam) (DA i 250). Memahami ini, bisa kita bayangkan sosok pendekar gagah berani memperjuangkan yang patut diperjuangkan. Teringat kisah mengenai Mahasatta Mahajanaka yang bertahan tujuh hari di samudra dengan bersandar pada tiang kapal yang tersisa (JA vi 34).
Sebagai pemahaman yang lebih jelas, kekuatan kegigihan adalah kualitas menghilangkan perihal tidak cekatan dan memunculkan perihal cekatan, sehingga ia kuat, memiliki upaya yang mantap, dan tidak terlepas dari tugasnya dalam perihal-perihal cekatan (A iii 11). Akan tetapi, dalam perspektif lain, kegigihan juga bisa bersekutu dengan kualitas tidak cekatan jika adanya pandangan keliru.
Memunculkan Kegigihan yang Semestinya
Mengetahui bahwa kegigihan bisa mengarah kepada kusala atau akusala, maka penting untuk kita mengenal terlebih dahulu apa yang termasuk kusala atau akusala. Secara ringkas, yang disebut sebagai kusalamula atau sebab cekatan adalah tiga hal, yakni: ketidakserakahan (alobha), ketidakbencian (adosa), dan ketidakkeliruan (amoha) (Vbh 169).
Ketika seseorang serakah, dirinya akan berupaya agar mendapatkan sebanyak-banyaknya walaupun sudah lebih dari cukup. Sehingga, ia bisa jadi tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam berusaha. Jika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, ia membenci dan sering menyalahkan pihak-pihak tertentu yang dianggap menghalanginya mencapai tujuan curang. Ini semua muncul dari pandangan yang keliru.
Dengan demikian, kegigihan yang sesuai bisa muncul jika kita membiasakan diri dalam praktik yang melepas keserakahan, kebencian, dan pandangan keliru. Praktik seperti ini hanya muncul dari banyak mendengar atau belajar Dhamma, merenungkannya, dan mengembangkannya dalam keseharian hingga seseorang memiliki pengetahuan.
Kualitas-Kualitas Pelengkap Kegigihan
Secara nyata, kegigihan merupakan kualitas yang tidak bisa berdiri sendiri. Setidaknya terdapat dua hal yang harus selalu muncul bersama kegigihan, yakni: kebijaksanaan (sampajanna) dan pengingatan (sati). Kebijaksanaan yang dimaksud adalah adanya pengetahuan secara menyeluruh, sehingga bisa menimbang hal-hal yang sepatutnya dikembangkan atau ditanggalkan. Pengingatan adalah kemampuan mengingat segala hal yang dilakukan atau dikatakan dengan kebijaksanaan. Tiga serangkai ini adalah kualitas yang harus selalu dimunculkan dengan tangkas dalam pelatihan.
**
Daftar Rujukan:
Davids, T. R., & Carpenter, J. E. (Eds.). (1968). Sumangala-Vilasini, Buddhaghosa's Commentary on the Digha Nikaya (2nd Edition ed., Vol. I). London: Luzac & Company Ltd.
Davids, R. (Ed.). (1978). The Vibhanga: the Second Book of the Abhidhamma Pitaka. London: The Pali Text Society.
Fausboll, V. (Ed.). (1896). The Jataka: Together with Its Commentary, Being Tales of the Anterior Births of Gotama Buddha (Vol. VI). London: Kegan Paul Trench Trubner & Co., Ltd.
Hardy, E. (Ed.). (1976). The Anguttara-Nikaya: Pancakka-Nipata, and Chakka-Nipata (Vol. III). London: The Pali Text Society.
**
Jakarta, 04 Januari 2023
Penulis: Bhikkhu A.S.K. Thitasaddho