Segelintir orang, mungkin hanya 1 di antara 10.000, berpendapat jika anak dipondokan atau diasramakan saat masih usia remaja dianggap anak nakal. Dan orangtuanya tak sanggup lagi mengasuh.
Ada juga yang berpendapat, karena orangtuanya secara ekonomi tidak mampu.
Anehnya, ketika masuk asrama saat di perguruan tinggi justru dianggap anak yang berprestasi. Misalnya diterima di UI lalu masuk asrama di Depok. Atau menjadi taruna Akademi Militer.
Tugas sekolah, tentunya juga yayasan yang menaunginya, dalam mengemban tugas menyiapkan generasi muda sebagai calon pemimpin yang tangguh bagi negeri tidaklah membedakan status ekonomi keluarga siswanya. Putra-putri yang diterima adalah yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan sesuai dengan visi dan misi yayasan yang mengelolanya.
Penerimaan calon siswa bukan hanya berdasarkan kemampuan akademis belaka, tetapi juga memperhatikan kesehatan jiwa dan raga.
Yayasan sebagai komunitas pendidikan tentu sangat membutuh dana untuk mengelola agar jalannya proses pembelajaran termasuk untuk penggajian tenaga pendidik dan karyawan serta kebutuhan lainnya.
Di sinilah perlunya kerjasama dengan orangtua murid dalam pendanaan untuk saling membantu. Orangtua siswa yang mampu dan cukup mampu secara ekonomi membantu orangtua siswa yang kurang atau tidak mampu secara ekonomi.
Sebagai misal, Bandi orangtuanya mampu secara ekonomi selama satu semester membayar SPP dan beaya lainnya sebesar 50 juta.
Orangtua Bejo yang cukup mampu secara ekonomi membayar SPP dan beaya lainnya sebesar 25-35 juta.