Pagi hari itu seperti biasanya, aku datang paling awal. Aku sengaja tiba lebih pagi agar aku dapat menyiapkan makanan untuk dana dengan lebih leluasa. Tidak harus senggol-senggolan di dapur vihara yang sempit dan pengap kalau kebanyakan orang.
Karena aku termasuk orang yang malas, maka dana yang kusajikan pun sederhana dan mudah dibuat. Kadang aku membuat bubur dengan variasi ikan, ayam, atau kepiting. Menggoreng chicken wing atau membuat scramble egg. Nah yang terakhir ini menjadi menu dana favoritku setelah sempat vacuum dimasa pandemi. Selain karena bahan-bahannya mudah didapat, juga ringan di kantong.
Ha... Ha... Ha... scramble egg, mumer [baca: murah meriah] tapi bergizi dan yang terpenting sangat mudah dibuat.
Aku menikmati seluruh prosesnya, menikmati harumnya aroma telur bercampur dengan margarin di dalam wajan, mengaduknya dengan perlahan, menikmati sajiannya di atas piring saji cekung berwarna putih. Pokoknya, seluruh proses yang kujalani telah kuisi dengan penuh cinta kasih.
Selagi asyik sendiri di dapur, lamat-lamat kudengar pembicaraan dari balik dinding.
"Wah... dari baunya sepertinya si pelit bikin telur lagi... "
"Ya sepertinya sih begitu, kok dananya telur melulu, lama-lama para Bhante bisa bisulan deh, jangankan Bhante, lihatnya saja sudah bosan"
Weleh ... weleh, ternyata mereka sedang menggosipkanku. Bukannya marah, alih-alih timbul keisenganku. Aku yakin mereka pasti kaget kalau tiba-tiba aku keluar dari dapur. Lalu dengan sigap, aku membawa scramble eggku, berjalan menuju troli penyerahan makanan.
Aku sengaja menyapa mereka tak acuh seolah-olah tidak mendengar ocehan mereka. Aneh aku belum pernah melihat mereka, tapi kok mereka tahu aku sering berdana telur.
"Halo, selamat pagi", sapaku dengan cuek