Perbedaan kebudayaan, pendidikan, pengalaman hidup, dan faktor-faktor lainnya membuat setiap orang memiliki tolok ukur yang berbeda mengenai perkembangan atau kehancuran. Ada yang berpikir bahwasanya pemenuhan semua yang diinginkan adalah sebuah perkembangan.
Sementara itu, ada juga yang bersikukuh bahwa sukses mempertahankan pandangan sendiri, tanpa goyah, adalah sebuah ketidakhancuran. Akan tetapi, di antara semua perbedaan sudut pandang yang ada, terdapat sebuah kecenderungan umum pada manusia-manusia yang hidup di dunia. Sebagai manusia yang memiliki akal budi, kita menginginkan sebuah perkembangan dalam kehidupan, serta enggan akan kehancuran atau keruntuhan.
Terkait dengan kehancuran, merujuk pada Parabhavasuttavannana, Paramatthajotika II (Suttanipata-Atthakatha), para dewa, selain mempersoalkan sebab-sebab berkah, sebagaimana yang terangkum dalam Mangalasutta, mereka juga melihat bahwasanya ada makhluk-makhluk yang hancur dan binasa.
Oleh sebab itulah, seorang putra dewa bertanya kepada Sang Guru Agung tentang sebab-sebab kehancuran. Sang Begawan kemudian menjawab bahwasanya mudah untuk menenggarai perkembangan atau kehancuran. Kegemaran akan Dhamma adalah sebuah perkembangan, sementara kebencian akan Dhamma adalah sebuah kehancuran (SnA i 167--168).
Yang menjadi persoalan adalah, kegemaran terhadap Dhamma yang bagaimanakah yang dimaksudkan sebagai perkembangan? Serta, apakah yang menjadi ejawantah dari kebencian akan Dhamma tersebut? Sehingga, dengan mengetahui kedua hal tersebut, kita bisa cekatan dalam memilih dan memilah apa yang patut untuk dikembangkan, serta apa yang patut untuk dihindari sehingga diupayakan yang terwujud hanyalah kemajuan atau perkembangan, bukan kemunduran atau kehancuran.
Jalan Sepuluh Perilaku Cekatan
Seseorang yang disebut sebagai "gemar terhadap Dhamma" adalah seseorang yang mempelajari, menyenangi, dan menjalankan Dasakusalakammapatha. Kata kusala sering diterjemahkan sebagai "kebaikan" atau "kebajikan". Sehingga, Dasakusalakammapatha sering diterjemahkan sebagai "Sepuluh Cara Perbuatan Baik". Akan tetapi, penerjemahan yang demikian berpotensi membuatnya menjadi rancu.
Di dalam Saddanitippakaraa, kusala dijelaskan sebagai sebuah upaya memangkas sebagian pengotor yang sudah muncul dan akan muncul (uppannanuppannabhavena ubhayabhagagatam kilesapakkham lunanti) sehingga diumpamakan seperti seseorang memangkas rumput liar (tasma kusa viya lunantiti).
Upaya yang demikian tersebut bisa disebut sebagai upaya yang cekatan, karena seseorang memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang cukup untuk mampu melakukannya.
Oleh karenanya, Dasakusalakammapatha bisa diterjemahkan sebagai "Jalan Sepuluh Perilaku Cekatan". Dengan penerjemahan yang demikian, maknanya menjadi "sebuah jalan yang berisi sepuluh perilaku yang dimiliki oleh seseorang yang cekatan", atau "sebuah jalan yang terdiri dari sepuluh perilaku yang menyebabkan seseorang menjadi cekatan".
Kesepuluh perilaku cekatan ini bisa dibagi menjadi tiga, di antaranya:
Tiga Macam Perilaku Jasmani (Kayakamma):