Di tengah teriknya matahari menjelang siang, perut ini sudah tidak bisa berkompromi lagi. Bunyi keroncongan terasa lebih keras dari jam weker yang membangunkanku tadi pagi.
Dengan bergegas, saya merapihkan semua pekerjaan. Warung nasi uduk Bu Santi kemudian menjadi tujuan langkah kakiku. Letaknya di tengah pasar dekat kantorku.
Bu Santi menyambutku dengan senyumnnya yang khas. "Saya sudah tahu pesanan kamu," ujarnya. Kering tempe kacang, perkedel jagung, telur dadar bawang, dan juga bihun goreng. Dalam waktu singkat, sepiring nasi uduk sudah tersaji di hadapanku.
"Terima kasih mak", sapa saya kepada beliau.
Suapan pertama terasa begitu nikmat, membuat lidah ini enggan beristirahat. Sembari menikmati makanan favoritku ini, pandangan mataku tertuju kepada sekelompok ibu-ibu yg sedang berbelanja di warung Pak Husen. Letaknya persis di samping tempat makanku.
Iya, aku cukup mengenal Pak Husen. Pria paruh baya bertubuh ceking ini sering menjadi teman mengobrolku saat sedang menunggu jam kantor.
"Pak, kami borong semua yah? Total berapa?"
"Semua 200 ribu rupiah Bu"
"Lah, kami ke tempat sebelah dikasih 180 ribu rupiah, kok malah disini lebih mahal?" terdengar seruan ibu-ibu yang cukup keras.
Seperti biasa, emak-emak kalau menawar memang paling jago. Sejenak kupandang wajah Pak Husen, ada kekecewaan tersirat di sana. Sekilas matanya melihat dagangannya yang masih banyak di siang terik itu.