Dalam rangkaian Ekspedisi Sabuk Nusantara 2019-Desa Wisata Benteng NKRI oleh Asosiasi Desa Wisata Indonesia (ASIDEWI), tim mulai menjejakkan kaki di gugusan pulau pulau indah di Nusa Tenggara Timur. Gususan pulau cantik itu salah satunya adalah Alor. Pulau Alor menyembunyikan sederet kemegahan, dari keajaiban bawah laut yang mempesona hingga budaya yang unik dari orang-orang di kampung pegunungan.
Sebelum ke Alor, tim Ekspedisi Sabuk Nusantara telah melakukan perjalanan ke desa desa wisata di Banyuwangi Jawa Timur, ke kampung adat di Tana Toraja dan membelah lebatnya belantara pegunungan Latimojong di Selatan Sulawesi.
Sekilas tentang kepulauan Alor yang disinggahi tim Ekspedisi Sabuk Nusantara 2019 pada 15-24 Juni 2019, kepulauan ini terdiri dari dua pulau besar,yaitu Alor dan Pantar. Keduanya mengapit gugusan pulau-pulau kecil dalam Selat Kumbang atau warga setempat menyebutnya dengan mulut kumbang.
Selat ini terletak di Desa Alor kecil dan Pulau Kepa. Setiap tahunnya pada bulan Mei dan September ada fenomena aneh di sini. Selama dua hingga tiga hari berturut-turut suhu air laut menjadi dingin, baik siang maupun malam hari.
Selain kaya akan wisata bahari, Alor juga memiliki wisata budaya dan sejarah. Warga lokal Pulau Alor juga sangat ramah.Kepulauan Alor terdiri dari 20 pulau dan 17 kecamatan. Di antaranya, hanya 9 pulau yang dihuni: Alor, Pantar, Pura, Terewang, Ternate (tidak harus bingung dengan Ternate di Maluku), Kepa, Buaya, Kangge, dan Kura. 11 pulau tak berpenghuni lainnya adalah: Sikka, Kapas, Batang, Lapang, Rusa, Kambing, Watu Manu, Batu Bawa, Batu Ille, Ikan ruing, dan Nubu. Ada 42 situs selam yang terdaftar di Alor. Salah satu wisata bahari yang menarik adalah melihat dugong di perairan pulau Sikka bersama Bapa One sang konservator alam yang legendaris sekaligus sahabat para dugong.
Keragaman suku di pulau ini juga bisa menjadi atraksi wisata budaya. Diantaranya Desa Lembur Barat kampung adat Takpala dan Matalafang, Desa Bampalola, dan Desa Kopidil. Kemudian Museum 1000 Moko, Al Quran ratusan tahun di Desa Alor Besar, Air Terjun Binafui, deretan pantai cantik seperti Pantai Maimol dan Pantai Welolo, Pulau Ternate, Pulau Pura, dan Pulau Kepa. Pulau Alor sendiri dihuni oleh sejumlah kelompok etnis sub Flores yang masih melestarikan cara hidup tradisional mereka. Salah satunya masih menghasilkan pakaian dari kulit kayu yang dikenal sebagai Pakaian Ka.
Pulau Alor juga dikenal sebagai Pulau Seribu Moko. Moko adalah gendang perunggu kecil yang diyakini berasal dari budaya Dong Son Vietnam. Namun, hal itu tetap menjadi misteri bagaimana prasejarah drum Dong Son ini tiba di Alor. Legenda setempat mengatakan bahwa moko itu ditemukan terkubur di dalam tanah. Untuk mengamati artefak unik, Anda dapat mengunjungi Museum Seribu MokoMoko yang terletak di kota utama Kalabahi, di Pulau Alor. Museum juga menampilkan koleksi pakaian tenunan tangan Alor yang berbeda yang disebut Kawate.
Kampung adat Matalafang adalah sebuah kampung tradisional yang tidak jauh dari pantai di Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, memiliki beberapa Lapo dan Fala Foka atau rumah tradisional dengan atap yang dibentuk dari jerami . Desa tradisional yang dihuni oleh suku Abui ini sangat bersahabat dan ramah sebagai suku terbesar di Pulau Alor.
Suku Abui di desa Lembur Barat memanfaatkan produk alami terutama hutan dan pertanian atau berburu sehingga pada siang hari desa menjadi sepi karena kebanyakan mereka mencari makanan ke hutan. Makanan khas Suku Abui adalah singkong, jagung dan Katemak yang merupakan nasi yang dicampur dengan singkong dan jagung.
Lapo adalah rumah suku Abui yang sangat sederhana namun bersahaja. Konstruksi kayu, gaya arsitektur Limasan dan atap jerami terbuka seperti gazebo dengan dinding setinggi satu meter yang terbuat dari bambu. Rumah itu memiliki 6 tiang kayu merah dan bisa bertahan selama puluhan tahun. Rumah Lopo yang memiliki dua tipe yaitu Kolwat terbuka untuk umum termasuk anak-anak dan perempuan, sedangkan Kanuruat hanya bisa digunakan oleh kalangan tertentu.
Fala Foka adalah rumah kesukuan yang sangat luas, memiliki empat lantai dan dihuni oleh 13 keluarga. Lantai 1 digunakan untuk mengumpulkan dan menerima tamu, lantai 2 untuk kamar tidur dan dapur, lantai 3 untuk menyimpan jagung dan tanaman lainnya dan ke-4 untuk menyimpan barang-barang seperti moko, gong, senjata dan banyak lagi.