Lihat ke Halaman Asli

A.S. Adam

Jurnalis

Bisnis Periklanan di Indonesia

Diperbarui: 14 November 2017   04:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

KERASNYA persaingan dunia iklan menyebabkan keberuntungan bagi media cetak dan televisi. Client untuk sebuah iklan sudah tentu meminta harga yang murah namun dengan hasil yang memuaskan. Ada pula client yang tak sabar ingin sekadar jadi yang penting bisa nongol di media. Tak heran jika banyak perusahaan iklan yang mengutamakan kualitas justru bermuka cemberut.

Dunia periklanan memang terbilang baru di Indonesia. Namun banyak perusahaan lokal yang tidak percaya terhadap iklan-iklan hasil karya anak bangsa. Padahal jika mereka tahu tentu bisa gigit jari karena telah mengeluarkan uang tidak sedikit kepada agency periklanan luar negeri.

Baru-baru ini saya dapat informasi jika ternyata bakal ada film animasi kelas internasional dari Jogja yang diproduksi oleh lembaga pendidikan swasta. Kalau tidak salah judul filmnya “The Cronical of Java”. Ini tentu membuktikan sekaligus membuka mata dunia bisnis bahwa orang Indonesia mampu membuat film bahkan iklan kelas internasional.

Saya kecewa dengan sejumlah perusahaan swasta di Indonesia yangmelulu mengandalkan produk luar negeri. Mengagung-agungkan karya orang luar, padahal kita mampu—bahkan bisa lebih baik dari mereka.

Saya pernah menggarap sebuah iklan untuk media lokal dengan client yang super cerewet. Wajar. Sebab merekalah yang membayar saya. Tak ada habisnya saya mengeluarkan proof untuk satu buah garapan iklan. Bahkan bisa berlembar-lembar saya proofing ke client. Saya tidak mengeluh, justru malah membuat saya bergairah. Selain menjadi hobi, bekerja di bidang periklanan memang menyenangkan.

Saya berharap dunia periklanan di Indonesia menemui perubahan dan kemajuan yang lebih baik daripada sebelumnya. Sebab saya menilai: percuma saja di Indonesia ada organisasi periklanan tetapi bisnis iklan dikuasai oleh kelompok sehingga menjadi tidak berkembang sehat. Padahal sering ada acara yang berkaitan dengan periklanan, salah satunya Pinastika.

Tak hanya itu saja. Perusahaan-perusahaan lokal yang bergerak di bidang periklanan harus melaui birokrasi rumit-sulit untuk bisa diakui menjadi anggota Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Padahal semua perusahaan yang bergerak di bidang periklanan hukumnya wajib menjadi anggota PPPI. Kalau perusahaan periklanan tidak atau belum menjadi anggota PPPI maka dianggap liar dan tak laik memproduksi iklan. Sementara banyak perusahaan lokal di Indonesia diarahkan untuk percaya kepada perusahaan iklan yang “berijazah” PPPI.

Bagi kebanyakan masyarakat yang terlanjur membuat perusahaan di bidang periklanan sementara waktu—harus gigit jari! Menunggu dan berharap bisa “berijazah” PPPI dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.

Bisnis periklanan sangat menjanjikan. Apalagi jika diberlakukan pasar bebas, tentu semakin banyak perusahaan yang masuk ke Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline