Lihat ke Halaman Asli

Kursi Kosong di Meja Makan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kepada Sekolah Alam Tunas Mulia Bantar Gebang

Masih matahari yang sama. Masih tanah yang sama.

Masih angin yang tak pernah lelah menerbangkan berjuta-juta mimpi bersama asam sampah ke sela-sela wangi AC yang kita hirup tiap hari. Masih tangan dan kaki yang setia bersilaturahmi dengan tumpukan plastik, kaleng dan sisa makanan yang kita makan. Masih tangis yang membelah udara dengan rasa lapar. Masih api yang menghitamkan tunas-tunas mimpi. Masih harapan yang sama. Masih hari ini. Masih detik ini.

Masih matahari yang sama. Masih tanah yang sama.

Malam tidak pernah terganggu oleh sedu sedan. Tanah tengah mewiridkan do’a-do’a yang tak pernah usai. Tentang  senyuman. Tentang  kebahagiaan. Tidak pernah ada yang menanyakan kabar kepada terpal-terpal rumah, genangan-genangan basah, dan lalat yang senantiasa berkunjung di pintu-pintu. Bersih adalah sebuah kata yang pelan-pelan memudar,  mencari definisinya sendiri dalam lumpur. Mungkin cita-cita adalah bintang yang selalu kau gantung di jendela. Lalu riuh akan menelan segala. Seperti asap. Seperti gelak yang tertahan.

Masih matahari yang sama. Masih tanah yang sama.

Sekolah adalah tempat singgah untuk menghalau gundah. Tidak pernah ada yang tahu arti kesuksesan. Mungkin itu hanya  gambar yang menghias buku-buku sejarah. Tapi, sekolah adalah tempat menabung tawa-tawa dan usia. Tempat asa diukir dalam-dalam di kulit-kulit. Agar esok serupa pelangi.

Dan orang-orang mengikatkan rasa iba di punggung. Serupa tas yang akan dilepas ketika puas. Lalu ketika cangkir-cangkir telah kosong, lampu-lampu dimatikan. Saatnya pergi.

Masih matahari yang sama. Masih tanah yang sama. Masih kita yang berjiwa muda.

Idealisme merupakan cincin yang melingkari tindakan. Kita pernah menggoreskan jejak ke lorong-lorong jiwa. Mengocehkan sesuatu tentang masa depan dan mimpi. Mungkin mereka akan melipat harapan di ujung bulu mata. Mungkin juga tidak. Tapi angin selalu menghapus jejak yang kau ukir di atas tanah. Perlahan-lahan.

Masih matahari yang sama. Masih tanah yang sama.

Selalu ada kursi yang kosong di meja makan. Mungkin menyisakan ruang untuk kehangatan. Kopi-kopi dituangkan.

-menunggu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline