Beberapa hari terakhir, dunia kesehatan dibuat gempar seiring ditemukannya obat Kanker. Namanya Bajakah. Tumbuhan endemik hutan Kalimantan ini disebut-sebut mampu mematikan sel kanker dalam tubuh seorang penyintas kanker.
Seperti disebutkan dalam tulisan kompas.id berjudul "5 Fakta Tanaman Bajakah yang Diklaim dapat Sembuhkan Kanker", di dalam tanaman ini terdapat kandungan saponin, fenolik, steroid, terpenoid, tannin, alkonoid, dan terpenoid.
Kelimanya memiliki fungsi meningkatkan imunitas tubuh, mematikan sel kanker, mengkonstruksi DNA yang rusak, dsb. Adalah Anggina Rafitri dan Asya Aurelaya Maharani yang merupakan dua siswi SMAN 2 Palangkaraya yang menginisiasi penelitian atas khasiat tanaman ini.
Ditemukannya khasiat Bajakah menjadi momen tersemainya harapan baru. Hal ini menyiratkan berkas-berkas kemenangan bagi dunia kesehatan yang selama ini terus berupaya memenangkan medan laga melawan penyakit Kanker ini. Implikasinya, hal ini akan dengan sendirinya memperpanjang umur hidup seorang manusia.
Maka dari itu, tidak lama lagi manusia akan dengan mudah meletakkan kekhawatirannya. Tidak mengerankan, seiring ditemukannya khasiat Bajakah, seolah manusia tengah mempersiapkan "pesta perpisahannya" dengan identitasnya sebagai mangsa dari penyakit kanker, salah satu penyakit paling mematikan itu. Dengan kata lain, ditemukannya obat-obatan alternatif semacam Bajakah ini, menjadi sebuah pengalaman eksistensial yang menyelamatkan manusia dari "kedapatmatiannya" (mortalitas).
"Dengan kata lain, ditemukannya obat-obatan alternatif semacam Bajakah ini, menjadi sebuah pengalaman eksistensial yang menyelamatkan manusia dari "kedapatmatiannya" (mortalitas)."
Mendapati fenomena yang ada, sebuah pertanyaan nakal agaknya menarik diajukan pula. Mengapa sih manusia susah-susah mengupayakan semua ini? Ada begitu banyak riset di berbagai dimensi kehidupan agar manusia dapat hidup enak, nyaman, dan tanpa gangguan. Tidak terkecuali berbagai riset mengenai obat-obatan penangkal penyakit kanker ini.
Lalu, ini semua buat apa sih? Seorang filsuf Jerman seperti Martin Heidegger akan dengan mudah mengatakan bahwa manusia melakukan macam-macam tetek bengek karena ia menemukan diri terbatas. Ada suatu titik dimana manusia harus mengucapkan selama tinggal kepada kehidupannya.
Masih menurut Heidegger, manusia tak lain adalah Sein zum Tode-suatu "Ada" yang bergerak menuju kematian. Realitas kematian menjadi sesuatu yang tak terhindarkan bagi hidup sebuah "pengada" seperti manusia.