Lihat ke Halaman Asli

Satriyo Wibisono

Mahasiswa S1 Filsafat

Becak yang Kini Bermotor

Diperbarui: 10 Agustus 2019   15:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Motor Betjak (Mobet). Sumber: wartawanita.com

Besi-besi yang terkelupas catnya menjadi penyusun rangkanya. Dari dulu hingga sekarang, yang sama tinggal jumlah rodanya. Tetap saja tiga. Lainnya telah berubah. Kayuh penggerak utama, diganti oleh mesin motor tua. Gemilangnya digeser oleh ojek daring berseragam hijau. Becak Motor dipaksa bertransformasi dan berjibaku di tengah kemajuan teknologi. Pemiliknya berusaha bertahan sebisanya.       

Siang itu, Matahari masih bersinar terik. Lalu-lalang pengguna jalan cukup bertolak belakang dengan suasana di sudut Jalan Kalibaru 6, Senen, Jakarta Pusat. Beberapa "motor betjak" (Mobet) tampak berbaris menunggu penumpang.

Tak terkecuali Hanafi. Tak banyak yang dapat diperbuat pengendara Mobet itu. Pria 63 tahun ini memilih bersembunyi di balik atap "kuda besinya" dari sengatan cahaya sang surya. Sambil menunggu penumpang, ia asyik bermain gim domino yang terdapat dalam telepon pintarnya. 

"Ya ginilah yang bisa saya lakuin, Mas. Lagi sepi juga penumpangnya. Dari pagi sampai siang ini cuman 2 kali narik." 

Hanafi dan Mobetnya
Inilah potret yang dialami oleh kebanyakan alat transportasi tradisional. Mereka harus bersaing dengan kemajuan teknologi, terutama dengan adanya ojek daring yang makin menjamur. Tak terkecuali Mobet. 

"Sejak saya narik (mobet) tahun 90-an, bedalah jumlah penumpangnya." Hanafi tak memungkiri, kehadiran alat transportasi daring turut mengurangi jumlah penghasilannya. Namun, ia bersyukur masih memiliki penumpang yang kerap membutuhkan jasanya. 

Pengguna jasanya cukup beragam. Mulai dari ibu rumah tangga, anak sekolah, hingga para penyedia jasa percetakan yang ada di sepanjang Jalan Kalibaru, Senen, Jakarta Pusat.

Meskipun demikian, Pria yang tinggal di kawasan Cakung, Jakarta Timur ini mengaku pendapatan yang diperolehnya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Apabila sedang ramai, Hanafi bisa membawa pulang Rp 100.000 di kantongnya. 

Jumlah itu telah dikurangi setoran Rp 20.000 yang harus diberikannya kepada juragan Mobetnya. Sebaliknya, apabila sedang sepi, kesedihan mau tak mau menghinggapi Hanafi.

"Kesedihan saya yang paling dalem itu kalo saya harus pulang nggak bawa uang, Mas.", ujar ayah tiga orang anak ini. Oleh karena itu, untuk menyiasati hal ini, Hanafi membolehkan istrinya untuk turut bekerja sebagai buruh cuci di sekitar rumahnya. 

Menjadi penarik Mobet adalah pilihan terakhir yang dapat diambil Hanafi. Pria yang pernah menjadi karyawan sebuah usaha konveksi ini mengatakan, tuntutan ekonomilah yang membuatnya memilih Bentor sebagai penyambung hidupnya.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline