Kolaborasi itu mudah diucap, tapi susah untuk dipraktekkan. Mau bukti? Coba rekan-rekan Kompasianer ketik di di mesin pencari Kompasiana, akan ada puluhan tulisan dengan keyword "Kolaborasi", dalam satu hari!
Namun dalam prakteknya, ternyata kita secara individu (masih) sulit mengaplikasikan kata satu ini.
"Eh, Aku Ada project bisnis baru, mau ikutan ga?"; "Bagaimana kalau di keluarga kita diadakan arisan? Pasti seru deh." ; "Ikut Whatsapp Grup pecinta alamku, Yuk. Siapa tahu kita bisa naik gunung bareng lagi.".
Jawaban spontan yang muncul dari pertanyaan di atas, ketika mulut lebih cepat dari otak, mayoritas adalah PENOLAKAN. Hati kecil berkata, "paling-paling ujungnya ngutang, ngerepotin, malah nanti aku yang buntung."
Ini memang realita yang terjadi di masyarakat Indonesia. Entah salah bunda mengandung, budaya individualis memang menjadi turunan dari leluhur kita. Kita kerap alergi untuk berkolaborasi.
Mungkin karena terlalu lama dijajah, mimpi di siang bolong untuk menjadi sosok tunggal yang bisa merubah keadaan menjadi lebih baik, menjadi konkret. Bahkan dengan narsis mulai berpikir, "Sayalah Satria Piningit!"
Bagi sosok individualis, banyak hal terlihat salah. Yang benar adalah apa yang ada di dalam utopia pikirannya saja. "Seharusnya begini, bukan begitu." , "Tuh, apa yang aku prediksikan benar kan?" , "Kamu itu ga tahu yang benar , sih.".
Kalimat-kalimat itu terucap dengan santainya kepada orang lain, yang sebenarnya tahu tindakannya di persimpangan benar-salah. Namun karena tuntutan, mau tak mau harus berbuat hal tersebut.
Nah, mulai rumit nih. Kita coba bicara tentang individu. Semua orang pasti punya target yang ingin dicapai, bukan?
Sebuah tindakan yang tanpa pikir panjang, mungkin akan dilakukan kaum pengambil resiko. Sebaliknya, bagi kaum penolak resiko, diam adalah emas. Kemudian jika rekan pengambil resiko itu gagal, si penolak resiko tinggal berkomentar, "aku tau kamu pasti akan gagal".