Dilematika naturalisasi pemain Timnas Indonesia masih terus menggema, meskipun prestasi Indonesia pada setahun terakhir mampu memecahkan beberapa rekor positif di kawasan Asia. Stigma mengenai "Timnas Belanda KW" tak bisa terhindarkan, karena nyatanya ada 9 pemain berdarah Belanda pada skuad terkini asuhan Coach Shin Tae-yong (STY).
Mereka adalah Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Justin Hubner, Nathan Tjoe-A-On, Ivar Jenner, Shayne Pattynama, Rafael Struick dan Calvin Verdonk.
Pembahasan kondisi terkini Timnas Indonesia tidak bisa dikerucutkan pada masalah naturalisasi saja. Sebab, proses tersebut merupakan suplemen yang harus diminum sebagai akibat sepakbola Indonesia sudah dalam kondisi laten.
Lalu bagaimana kedepannya? Apa mau kita minum suplemen terus? Sepakbola Indonesia harus sembuh dan sehat seutuhnya! Self-healing yang harus digarap dan wajib hukumnya, adalah grassroot atau akar rumput.
Pandangan bahwa PSSI terkesan kurang bertanggung jawab atas pembinaan pemain usia dini, menganaktirikan kompetisi domestik dibandingkan prestasi Timnas, tentu merupakan realitas suara sumbang terhadap pengelola sepakbola Indonesia saat ini.
Mari melihatnya fenomena ini bukan sebagai sebuah problem, tetapi merupakan suatu peluang. Penggarapan Grassroot Sepakbola Indonesia, dimana berpotensi menghasilkan jutaan bibit unggul pesepakbola hebat, bagaikan ladang anggur tua terbengkalai yang sangat luas.
Beberapa pihak swasta sudah mulai mengambil sedikit peran, dengan menjadi sponsor turnamen sepakbola junior maupun menyasar pula ke kompetisi sepakbola putri junior. Namun itu bahkan belum menyentuh 20% kebutuhan pengelolaan grassroot sepakbola Indonesia. Perlu diupayakan lagi pergerakan masif atau keroyokan, yang dipadukan dengan beberapa ide kreatif.
Kerumitan Menjemput Bakat Terbaik di Level Grassroot
Mari kita bicarakan sepakbola sebagai suatu payung dari dua cabang olahraga, yang sama-sama berakar dengan mengolah bola menggunakan kaki. Sepakbola lapangan dan Futsal. Penggabungan ini masih harus dilakukan, karena kenyataan yang ada di Indonesia, jumlah lapangan rumput untuk sepakbola yang layak pakai masih minim dibandingkan lapangan Futsal.
Sehingga bisa sedikit dikompromikan, bahwa calon bakat-bakat terbaik sepakbola Indonesia masih lebih banyak berasal dari lapangan Futsal. Bahkan di beberapa kota metropolis, lapangan Futsal sudah jamak dimunculkan di setiap kelurahan. Bisa dalam wujud pengelolaan swasta, maupun dari Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten setempat.
Kondisi kian sepinya sarana dan prasarana tersebut, tentu menjadi latar belakang realita klub sepakbola atau futsal masih belum bisa menjaring bakat-bakat secara luas. Cara praktis yang mereka lakukan adalah audisi maupun pemantauan langsung ke kompetisi kategori umur.