Lihat ke Halaman Asli

Menemukan Toleransi di Penjara Suci

Diperbarui: 19 November 2024   19:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Orang yang minim toleransi pasti sering hidup di lingkungan yang homogen, sehingga gagap pluralisme."
-Pandji Pragiwaksono

Menghargai sesama dan saling memaklumi sepertinya semakin susah ditemukan di kalangan masyarakat di zaman sekarang ini, terlebih soal agama. Kita telah melihat bagaimana intoleransi serta konflik agama di seluruh dunia dapat melumpuhkan suatu negara dan memisahkan opini masyarakat. Indonesia pun juga tidak luput dari fenomena sosial ini. 

Beberapa dekade terakhir telah menunjukan masyarakat Indonesia yang semakin radikal, ditandai dengan berbagai ormas-ormas agama yang meresahkan dan pembakaran atau perusakan beberapa tempat ibadah. Sungguh ironis bahwa negara yang disebut sebagai "pancasilais" mempunyai populasi yang menentang persatuan dan perbedaan.

Mungkin anda pernah meluangkan waktu di kolom komentar sosial media lalu menemukan beberapa istilah ujaran kebencian agama seperti "cancer", "teroris", "tumor", dan lain sebagainya. Sebagian besar dari anda mungkin tidak akan berpikir jauh dan mengabaikannya secara mentah-mentah. Akan tetapi, sebagian orang mungkin mengambilnya secara serius atau terluka mendengar perkataan tersebut. Akhirnya, mereka sendiri juga jatuh dalam siklus saling membenci. 

Tanpa disadari hal kecil yang kita telah saksikan ini merupakan salah satu bentuk dari intoleransi di tengah masyarakat, yang apabila tidak terselesaikan berpotensi memicu perpisahan yang lebih besar.

Intoleransi adalah bentuk berlawanan dari toleransi. Poerwadarminta (2000) menyatakan bahwa toleransi adalah sikap membolehkan, menghargai, dan memaklumi pendapat orang lain yang berbeda dengan prinsip hidup diri sendiri. 

Toleransi adalah bagaimana masyarakat hidup secara berdampingan atau mencapai co-existence dengan batasan tertentu. Intoleransi tidak seperti itu, melainkan ia adalah sikap yang menjunjung tinggi egoisme dan pribadi yang tertutup.

Seorang intoleran bisa muncul karena adanya faktor lingkungan dan pendidikan yang mempengaruhi pembentukan karakter. Lingkungan yang tertutup dan pendidikan budaya yang minim memungkinkan seseorang untuk lebih mudah berprasangka dan menanamkan stereotip pada kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks agama terlebihnya, dapat juga diartikan bahwa seseorang yang intoleran bisa terbentuk karena kekeliruan dalam menjalankan kepercayaannya (Kamaluddin dkk., 2021).

Mengetahui hal ini, muncul sebuah pertanyaan: apa yang selama ini kita lakukan untuk memaknai perbedaan?

Ekskursi Sebagai Jembatan Perbedaan

Pada tahun 2024 ini, saya diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekskursi agama ke Pondok Pesantren Nur El Falah di Serang, Banten. Saya bersama rombongan Kanisian menjalani kehidupan disana selama 3 hari dan 2 malam. Tujuannya? berdialog dengan teman-teman yang berbeda agama dan memaknai setiap dinamika yang ada. Kami para siswa diharapkan bisa menjadi manusia yang terbuka dan saling menerima di masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline