Bagi orang lain, mungkin aneka berita yang disiarkan oleh radio sudah tak relevan lagi. Sebab telah banyak pilihan. Tinggal akses. Tak suka, bisa dilewatkan atau pindah ke channel lain. Yang relevan hanya perkataan Alm. Gus Dur yang terhormat, "Gitu Aja Kok Repot".
Tetapi buat saya, mendengarkan radio tetaplah relevan. Hingga kini, kegiatan ini masih menjadi bagian rutin dalam kehidupan sehari-hari. Mendengarkan lagu-lagu favorit, siraman rohani, update berita terkini, dan tips singkat.
Bermula dari Radio Transistor Ayah
Entah sejak kapan ayahku memiliki radio transistor. Saya tak tahu, kakak-kakak saya pun menyatakan, sejak kecil mereka telah mendengar musik dari benda bernama radio itu.
Dalam KBBI, radio transistor diartikan sebagai radio penerima berukuran kecil yang diaktifkan dengan batu baterai.
Saat mulai mengerti, saya pun tahu bahwa di kampung kami hanya ada 5 radio transistor dan 2 radio tape, termasuk punya ayah. Jadi cukup langka untuk mendengar radio. Beberapa saat kemudian, barulah orang beramai-ramai membeli tape untuk memutar musik.
Tak sembarangan kita memutar radio. Biasanya hanya ayah yang mengoperasionalkannya. Jika tidak, maka kakak lelaki nomor 3 yang mendapatkan mandat untuk memutar radio tersebut.
Radionya tak boleh dipindahkan. Terletak rapi di atas lemari kecil, bersama dengan beberapa tumpuk buku pelajaran SD milik ayah, pulpen bersama tinta isi ulangnya.
Saat itu, kami hanya menikmati siaran dari RRI. Ya, Radio Republik Indonesia Stasiun Regional 1 Kupang.
Pada jam-jam yang sudah ditentukan, akan bergabung dengan stasiun Regional 4 Ujung Pandang (kini Makasar) untuk mendapatkan berita regioanl, dan sentral di Jakarta untuk mendapatkan berita nasional.