Untuk apa perempuan berpolitik? Bukankah perempuan seharusnya berkutat dengan urusan domestik dalam kehidupan berkeluarga? Mengasuh anak, memasak, mencuci, dan mengerjakan pekerjaan di rumah saja.
Pertanyaan di atas, lebih kurang sama dengan pernyataan bahwa perempuan tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Toh, nantinya menikah, memiliki anak, dan menghabiskan waktunya untuk mengurus keluarga.
Pertanyaan pada paragraf pertama dan pernyataan pada paragraf kedua di atas, pada dasarnya terlontar dalam kehidupan keseharian, utamanya dalam kehidupan masyarakat dengan sistem patriarki.
Ya, cara pandang yang mengutamakan kaum pria daripada perempuan dalam kehidupan bermasyarakat atau kelompok sosial masyarakat.
Persepsi yang menomorduakan perempuan, juga terjadi dalam kehidupan berpolitik. Perempuan, masih dianggap tidak bisa memimpin, apalagi memimpin kaum pria. Kepala desa, bupati, dan gubernur di Indonesia dapat dihitung dengan jari.
Demikian juga partisipasi perempuan dan keterwakilan mereka dalam parlemen, juga masih sangat rendah. Menurut Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), partisipasi perempuan Indonesia masih di bawah 30%.
Bahkan data dari World Bank tahun 2019 menunjukkan, Indonesia menduduki peringkat ke-7 untuk negara-negara di Asia Tenggara dalam hal keterwakilan perempuan di legislatif.
Sementara data Inter-Parliamentary Union (IPU) tahun 2022 yang dirilis dalam voaindonesia.com malah menunjukkan, Indonesia berada pada peringkat ke-105 dari 193 negara untuk tingkat proporsi keterwakilan perempuan di parlemen.